Pada suatu sore yang gerimis, saya berjalan menyusuri trotoar sepanjang Jongnogu, Seoul, Korea Selatan. Jalanan yang dipenuhi oleh galeri-galeri seni dan museum-museum pribadi dengan dimensi waktu beragam; dari era modern sampai masa kekaisaran Korea. Sejenak, langkah terhenti saat sudut mata menyapu patung Greetingman berbaris memenuhi interior sebuah galeri seni.
Ruang pajangnya berupa dinding beralaskan semen yang dihaluskan, dan pada bagian kiri dan kanan dinding dipasang rak tiga tingkat. Pada rak ini berbaris patung berbentuk manusia tanpa busana setinggi kira-kira 30 cm yang menunjukkan gestur memberi salam ala orang-orang Asia, seperti Jepang dan Korea. Pencahayaan dalam ruang itu minimalis, dominan putih dan biru muda.
Seorang penjaga galeri menghampiri dengan senyum ramah dan memberi salam persis seperti gaya patung-patung yang membisu di sekeliling kami. Tak lama, datang Yu Young-Ho, seniman pematung muda ternama Korea Selatan, yang telah beberapa kali berpameran solo sejak tahun 1996.
Bagi pejalan, destinasi ini mungkin tidak populer, tetapi dijamin memberikan nilai tambah dalam relasi sosial.
Keberadaan patung-patung ini adalah kampanye yang bermula dari ide mulia menawarkan metode baru bagi para seniman, di mana karya seni mereka berguna bagi kehidupan sosial. Keunikan dari proyek ini adalah siapa pun dapat terlibat langsung di dalamnya. Berbeda dengan pengumpulan dana konvensional, program ini menawarkan para penikmat seni patung untuk bisa mengantongi hak milik atas karya seni itu bersama sang seniman.
Patung berbahan tembaga yang membentuk sikap memberi salam ini menjadi simbol persahabatan dan ikatan emosi antarpemiliknya, melewati batas perbedaan budaya, agama, ras sampai politik. Patung Greetingman menjadi alat komunikasi global dan reuni antarpenduduk di seluruh penjuru bumi.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR