Pemanfaatan energi panas bumi untuk produksi listrik di area berstatus hutan konservasi terkendala UU Nomor 27/2003 tentang Panas Bumi. Potensi panas bumi yang besar tersebar di area berstatus hutan konservasi itu.
Salah satu kendala adalah pencantuman kata "pertambangan" dalam undang-undang itu. Sementara kegiatan pertambangan jelas dilarang dalam kawasan hutan.
Menurut Koordinator Program Ring of Fire WWF-Indonesia Indra Sari Wardhani, pengupayaan sinergi panas bumi dengan konservasi hutan dapat mencontoh dari eksplorasi dan eksploitasi panas bumi di Filipina. Pekan lalu, WWF-Indonesia bersama sejumlah wartawan mengunjungi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Mindanao, di Filipina.
"Instalasi dan sumur panas bumi PLTP Mindanao memanfaatkan 8-10 hektare di area konsesinya seluas 701 hektare. Area itu berada di kawasan hutan konservasi seluas 73.000 hektare sejak 1992, dan terbukti mewujudkan upaya konservasi—termasuk penghutanan kembali," kata Indra Sari.
Sementara itu, menurut Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material, Unggul Priyanto, revisi undang-undang sudah disiapkan tapi belum selesai dibahas di DPR. Ini dikatakannya di Jakarta, Selasa (5/11). Revisi diarahkan kepada kemungkinan sinergi pemanfaatan.
Unggul mengutarakan, eksploitasi panas bumi di Indonesia pun bisa disinergikan dengan konservasi. "Asalkan regulasinya sesuai," ujarnya. Ia juga mengatakan, optimalisasi panas bumi untuk produksi listrik perlu diupayakan. Pemerintah sekarang sebaiknya menggenjot produksi listrik dari energi bersih dan berkelanjutan, yang salah satunya adalah sumber energi panas bumi.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR