Menjelang akhir 2013, kerusakan lingkungan, konflik lahan dan konflik sektor kehutanan terus terjadi. Sampai kini masih belum ada solusi yang cukup untuk meredam tingginya angka konflik dan kerusakan hutan. Hal itu mengemuka dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, Rabu (13/11).
Status kepemilikan dan penggunaan lahan serta tata batas menjadi faktor utama terjadinya konflik. Oleh karena itu, Proyek Perencanaan Tata Guna Lahan Kolaboratif (Collaborative Land Use Planning and Sustainable Institutional Arrangements for Strengthening Land Tenure, Forest and Community Right in Indonesia/CoLUPSIA) berupaya mengumpulkan data spasial secara menyeluruh selama 2010-2014 di Kabupaten Maluku Tengah dan Kapuas Hulu.
Dalam penelitian ini, CoLUPSIA menggunakan pendekatan yang bertujuan untuk membangun komunikasi antarsektor terkait dengan rencana tata ruang menjadi efektif. Juga menggunakan sebuah model baru yang berdasarkan kajian biofisik, ekologis, dan sosial ekonomi serta memperhatikan budaya lokal dalam pengelolaan lahan.
Pengelolaan sumberdaya alam harus memperhatikan perbaikan pada pengurusan kepemilikan lahan agar dapat mendukung tujuan dari pemanfaatannya.
Tanpa pemahaman yang baik tentang masalah-masalah kepemilikan lahan dan rencana alokasinya, segala usaha untuk mempromosikan berbagai mekanisme pembiayaan (seperti jasa lingkungan dan REDD+) akan gagal.
Selain itu, disampaikan juga kalau proses mediasi dan negosiasi terkait dengan alokasi lahan menjadi suatu keharusan, tapi koordinasi antarinstitusi pemangku kepentingan yang berhubungan dengan perencanaan tata ruang di Indonesia masih lemah.
“Kajian tentang pengelolaan sumberdaya alam dan model alokasi lahan yang sudah dilakukan CoLUPSIA di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku dan Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat akan kita promosikan agar dimasukkan sebagai revisi dari Rencana Tata Ruang Kabupaten sesuai dengan permintaan dari pemerintah daerah yaitu Bupati dan DPRD,” kata Yves Laumonier, Ketua Proyek CoLUPSIA. Yves juga menjelaskan bahwa CoLUPSIA sudah mengembangkan peta status lahan baru, peta kesesuaian lahan dan tutupan lahan yang lebih detail dengan skala 1:50.000.
Penelitian ini pun menghasilkan terdata baru tentang distribusi geografis terkini dari kondisi hutan dan tipe vegetasi, distribusi geografis dari tumbuh-tumbuhan serta data-data lainnya seperti tanah dan air.
Iman Santoso dari Balitbang Kehutanan, menyatakan bahwa dirinya mendukung hasil kegiatan CoLUPSIA ini dijadikan sebagai model percontohan untuk diterapkan di kabupaten lain.
“Kegiatan yang dilakukan merupakan suatu inisiatif untuk membuat peta alokasi kawasan hutan yang lebih detail dan lebih sesuai digunakan dalam membuat RTRW Kabupaten. Hasil penelitian CoLUPSIA juga bisa menjadi model dalam pembuatan tata guna lahan di Indonesia.”
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR