Tak banyak hotel yang namanya jadi pengenal suatu tempat. Bersama Tugu Selamat Datang karya arsitek F Silaban yang menempati kolam air mancur di pusat kota Jakarta, Hotel Indonesia menjadi tengara (landmark) dengan julukan akrab Bundaran HI.
Keduanya bagian dari program Presiden Sukarno: membangkitkan harga diri bangsa pasca penjajahan lewat pembangunan tugu dan bangunan megah menjulang. Berpihak pada kepentingan umum dan membanggakan agar Indonesia dipandang dunia.
Awalnya, Hotel Indonesia (HI) dipersiapkan untuk menyambut tamu mancanegara peserta Asian Games IV/1962. Selanjutnya menjadi tuan rumah acara-acara bertaraf internasional. Perdana Menteri Kamboja, Pangeran Norodom Sihanouk dan Presiden Filipina, Diosdado Macapagal adalah sebagian tamu negara yang pernah menginap di sini.
Meski mencintai tanah air sepenuh hati, Sukarno jujur menilai kemampuan bangsanya. Ia memilih pasangan arsitek Amerika Serikat, Abel dan Wendy Sorensen untuk merancang HI bertaraf internasional. Para arsitek Indonesia bisa belajar dari pembangunan pencakar langit pertama di Indonesia ini.
Rancang bangunnya bersih, bebas dari hiasan yang menjadi gaya arsitektur sebelumnya. Era baru arsitektur Indonesia modern. Keinginan Soekarno akan gedung tinggi sesuai iklim tropis diterapkan dalam bangunan berbentuk huruf T dengan dua sayap – Ramayana berlantai 15, Ganesha berlantai 8 – sederhana, ramping, seimbang, luas dan terbuka.
Kamar hanya berderet satu baris, bukan dua deret berhadapan yang dipisahkan lorong umumnya hotel lain. Dengan demikian, tiap kamar mendapat siraman sinar mentari dan panorama kolam air mancur Tugu Selamat Datang.
Sukarno memasukkan kemolekan Indonesia lewat paduan nuansa arsitektur Minangkabau dan adikarya seni yang tersebar, menyatu di seluruh bagian hotel. Patung Dewi Sri karya Trubus menyambut di halaman depan. Dinding dihiasi Kain batik karya Iwan Tirta, mural flora fauna laut karya Lee Man Fong di bawah kubah Ramayana Lounge (lobby Ganesha), mozaik tarian tradisional Indonesia karya G Sidharta di Pavilion Ramayana Bar & Lounge.
Batu pahat (relief) Pesta Pura Bali berukuran 24x3m yang dikerjakan Rarihaji S dan 52 rekan seniman dari Sanggar Sela Binangun, Yogyakarta selama tiga tahun menghiasi dinding kanan lobby utama, dilengkapi prasasti, “Kerasnya batu masih kalah dengan kerasnya tekad guna menyelesaikan revolusi.”
Tak hanya fisik, HI juga menjadwalkan pertunjukan seni bulanan, dan mengukuhkannya sebagai pralambang metropolitan terbaik se-Asia Tenggara di zamannya.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR