. “Ini masjid tertua di Gunungsitoli,” ujar Jeffyadi Farid, pengusaha percetakan dan toko obat herbal (madu, zaitun) tentang Masjid Jami’ Ilir Gunungsitoli, Jalan Diponegoro No.87. Lebih jauh, pria yang bergiat di Muhammadiyah ini menuturkan, “Malam Lebaran biasa ada takbiran di masjid atau pawai keliling. Makanan buka puasa yang khas adalah kue bugis dan talam ubi, di pasar pertigaan Lapangan Merdeka,Jalan Siro,”
Menurut H Agusman Gea yang mengelola toko kebutuhan Muslim di Jl Diponegoro, dan bergiat di MUI Kota Gunungsitoli, ada pengajian tiap malam Jumat bergantian dari rumah ke rumah jamaah. Mereka juga mengembangkan seni Islam seperti Nasyid (senandung) dan barzanzi (shalawat Nabi), serta tari payung dan tari selendang para perayaan seperti pernikahan.
Rumah kayu di belakang sebuah masjid menarik perhatian kami. Rumah bergaya Melayu Padang berlantai dua itu milik Thamrin Ge (63), pengurus masjid, dan dibangun pada tahun 1967.
“Di sini, Kampung Legundri, ada 160 keluarga Muslim, sudah empat keturunan tinggal di sini pindah dari Desa Norahili dekat Bawomataluo pada zaman Inggris,” tuturnya ramah. Kami berbincang di teras rumah yang nyaman. Moyangnya adalah Angku Sersan Guila, Angku Sikisa, Angku Damra dan dilanjutkan ia sendiri, Angku Thamrin Ge. Dalam bahasa setempat, angku berarti kakek. Warga muslim bertambah di Nias pada zaman Jepang seiring kedatangan muslim dari Padang dan Aceh.
Kegiatan di sini tiada beda dari kampung Muslim di Nusantara. “Ada lomba pidato, azan, shalat, ambil air wudhu, baca ayat suci untuk anak-anak untuk merayakan Isra Mi’raj dan Lebaran. Ada rendang ayam, kerbau, antar-mengantar dengan tetangga. Juga kue semprit, kue bangkit, sagon. Tiap minggu ada pengajian di masjid atau giliran di rumah-rumah,” tutur Rusdina Dahi, Nursani Waw. Gesnawati Jae – tiga ibu muda yang ditemui sedang berbincang santai di rumah mereka sekitar masjid.. Kampung Olera km 10, Gunungsitoli Utara, Kampung Humene, Kampung Mudik dan Kampung Foa. Keyakinan sejatinya memang untuk mendamaikan batin semua umat.
Tradisi Islam Nias. Pesta pernikahan dan khitanan Muslim Nias kalangan bangsawan berlangsung 7 hari 7 malam. Semua penduduk diundang hadir, disuguhi sarapan, makan siang dan malam, dan tak boleh pulang kecuali untuk mandi.
Sarapan dan makan siang dengan nasi putih, lauk-pauk dan sayur di atas talam berupa gulai daun keladi plus terong, wortel, kol, telur goreng, daging kerbau, dan yang wajib adalah potongan kepala kambing. Makin banyak kambing yang dipotong, makin tinggi status sosial penyelenggara pesta.
Saat siang, mempelai dan anak melakukan Laohe Baholo), mandi ke pancuran diiringi rebana dan lantunan Asmaul Husna (99 nama Allah). Mempelai harus sudah qatam Al-Quran (membaca seluruh isi Al-Quran) baru diizinkan menikah.
Selama tiga malam, disajikan bubur sumsum selama 3 hari, dan dipertunjukkan Dabus mirip Debus di Banten untuk menyambut tamu kehormatan. Pelak Dabus, tubuh kebal oleh serangan prang dan pisau, seni yang dibawa dari Aceh, semuanya adalah pria dewasa di atas 25 tahun yang berwatak baik, tenang dan sabar, yang bisa membedakan hal baik dan buruk. Pelatih Dabus di Nias adalah Ama Silati (60).
Tiga hari pertama, mempelai pria harus menginap di rumah mempelai wanita, tapi tak boleh bercumbu. Malam pertama, mempelai pria harus pulang ke rumah orangtuanya pada tengah malam pukul 00:00. Malam kedua pulang pukul 02:00 dini hari, dan hari ketiga pukul 05:00 pagi.
Tanda bahwa mereka tak bercumbu adalah, hiasan bunga di kepala mempelai wanita tak boleh terlepas. Bila satu saja lepas, ayah mempelai pria harus membayar denda seekor kambing.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR