Sejak muda Abdullah bin Abdulaziz Al Saud telah dikenal sebagai pembaharu. Padanyalah, Arab Saudi mengharapkan angin perubahan.
Dibanding anggota lain keluarga kerajaan, sejak lama Abdullah bin Abdulaziz dikenal tak jaim–jaga image alias sok gengsi membuat pencitraan. Berbeda dari anggota lain keluarga kerajaan yang berkesan tertutup, ia berusaha dekat dengan rakyat biasa. Misalnya, kerap mengadakan kunjungan ke daerah dan tak segan melahap hamburger di restoran umum.
Jadi, saat dirasa Arab Saudi butuh pemimpin yang berani dan tegas kian mendesak, harapan ini tertumpah pada pangeran yang secara de facto telah menjadi raja menggantikan tugas-tugas Raja Fahd yang terserang stroke sejak 1995.
Kelahiran 1924 yang menjadi putra mahkota sejak 1982 ini sejak dekade lalu telah menyerukan perubahan ke dalam, termasuk mengkritik perilaku korup keluarga kerajaan yang menguras kas negara saat harga minyak jatuh pada 1990-an. Mantan komandan 75.000 pasukan Pengawal Nasional, lembaga militer dengan tugas-tugas sipil sejak 1962, ini pun sedikit demi sedikit mengikis perilaku mendewakan raja. Antara lain, menolak rakyat mencium tangannya dan lebih suka pundaknya yang dicium untuk lebih menggambarkan kesetaraan. Punggungnya pernah terkilir saat berusaha menghindari warga yang berebut mencium tangannya.
Sikapnya pada pembaruan agaknya faktor keturunan. Abdullah adalah satu dari 37 anak lelaki Raja Abdulaziz bin Abdulrahman Al-Saud, pendiri Kerajaan Arab Saudi modern pada 23 September 1932 yang dipicu penemuan tambang minyak bumi terbesar di dunia.
Ibunya, Fada binti Asi Al Shuraim adalah istri kedelapan, yang dinikahi setelah suaminya terbunuh pada 1920. Abdullah mendapat pendidikan pertamanya di sekolah lingkungan kerajaan dari para ulama dan cendekiawan.
Demokrasi, Demokrasi!
Tantangan pembaruan memang tak ringan bagi negeri yang menempati empat perlima wilayah Semenanjung Arab ini. Selama 20 tahun pertama pemerintahan Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Saud, 1982 – 2005, belanja negara membengkak, sementara pemasukan jauh berkurang. Harga minyak jatuh dari 40 dolar AS/barrel pada 1980 menjadi 20 dolar.
Perang Teluk 1991 berimbas pada hilangnya kekayaan 60 miliar dolar AS dari kocek negara. Pada 1998, Abdullah telah mengingatkan agar tak terpaku kejayaan masa lalu. “Curahan minyak bumi telah berakhir dan takkan kembali. Kita harus mengubah gaya hidup.”
Raja Abdullah yang pernah menjabat sebagai menteri pertahanan dan penerbangan pada1962 ini memotong anggaran belanja berbagai pos dan mengingatkan birokrat untuk berhemat jika tak ingin dipecat.
Ia juga meminta 30.000 anggota keluarga kerajaan untuk mengetatkan ikat pinggang. Hal ini termasuk tak bisa seenaknya menggunakan telepon atau menganggap Saudia (Saudi Arabia Airlines)–yang ia kembangkan dari Saudia menjadi maskapai penerbangan kelas dunia–sebagai pesawat keluarga. Tentu tak mudah. Keluarga kerajaan yang sudah terlalu terlena menikmati segala kemudahan ini ada yang menentang. Diam-diam, tentu saja.
Peneliti BRIN dan Inggris Berkolaborasi Mengatasi Permasalahan Sampah Plastik di Indonesia
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR