Tradisi patriarki Arab Saudi juga dianggap terlalu meminggirkan peran dan hak kaum wanita. Anak muda mengecap pendidikan Barat makin mengeluhkan aturan sosial yang dianggap terlalu kaku. Misalnya, pelarangan bioskop, bar dan tempat nongkrong anak muda. Memang ada pantai untuk keluarga dan café, tapi mau apalagi selain bertemu dan mengobrol? Membosankan!
Internet memang telah masuk, tapi dibatasi, tak bisa ke situs yang menentang Islam. Jadi, rata-rata mereka mengenal dunia modern dari media dan perjalanan keluar negeri. Mereka menuntut hak mandiri menentukan pendidikan dan masa depan, misalnya pengajaran bahasa Inggris sebagai perlawanan terhadap bahasa Arab dan belajar di luar negeri.
Universitas di Arab Saudi dianggap punya pendekatan buruk, justru mengajari yang dianggap tak cukup memberi bekal bersaing di lapangan kerja. Pengajaran juga masih menekankan menghapal. Mereka menentang korupsi dan standar ganda. Banyak yang menyalahkan Barat atau pekerja asing sebagai pertanda ketakberdayaan.
Gerakan pembaruan macam ini didukung tokoh pembangkang yang tinggal di luar negeri. Ketua Gerakan Pembaruan Islam, Saad al-Faqih, misalnya, selalu menyerukan perubahan politik Arab Saudi dari London melalui internet, radio dan stasiun tv miliknya, Islah TV. Ada juga yang mencari jalan tengah. Misalnya, Khalid al-Dakheel, guru besar Universitas Raja Saud, Riyadh menghendaki peran serta masyarakat yang lebih besar tanpa mengutak-atik status kerajaan.
Hal itu didukung oleh konglomerat Arab Saudi yang tinggal di AS, Pangeran Alwaleed bin Talal, yang menguasai saham Citicorp, Disneyland Paris, Four Seasons Hotel, yang masih kerabat keluarga Al Saud. “Kebebasan, demokrasi, hak asasi manusia, hak wanita harus dapat tempat lebih luas. Harus ada dialog antara penguasa dan rakyat.”
Arab Saudi mau tak mau tak lagi bisa berleha-leha. Dengan penduduk sekitar 24 juta jiwa, angka kelahirannya tertinggi di dunia, yaitu 4,2% atau rata-rata 7 anak dari tiap ibu. Angka pengangguran 30 – 40%. Sekitar 70% penduduknya berusia di bawah 30 tahun, dengan 40% lahir setelah Perang Teluk 1991, sebenarnya tumpuan menaikkan kembali pendapatan per kapita yang anjlok dari 28.600 dolar AS (1981) menjadi 7.500 dolar AS.
Mai Yamani, wanita Saudi Arabia yang bekerja di Royal Institute of International Affairs, London melakukan survei pada 70-an anak muda berusia 15 – 30 tahun di berbagai wilayah Saudi Arabia, dari berbagai kelas sosial termasuk keluarga kerajaan.
Lewat buku Changed Identities : the Challenge of the New Generation in Saudi Arabia (2000), Mai menangkap bahwa bila tak tersalurkan, ada yang lari ke agama jadi penganut fanatik, atau terjerumus narkoba, sementara yang lain menghendaki pemerintah lebih berperan dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel. Gerakan Intifadah lebih jelas menunjukkan jati diri dibandingkan Saudi Arabia yang mengacu pada suku, wilayah, kebangsaan, Teluk, Arab dan Islam.
Bagi kaum muda, terlalu sedikit yang bisa dikerjakan di Arab Saudi. Pola asuh justru mendorong anak untuk tergantung orangtua, bukan mandiri sejati. Hak-hak banyak dirampas. Misalnya perjodohan yang 20%-nya berakhir dengan perceraian. Para pemudi bahkan meminta hak pendidikan, pemilikan property dan pengajuan cerai bagi ibu dan nenek mereka, juga hak untuk bergaul sebelum menikah.
Putri Al-Jawhara Ibrahim Al-Ibrahim, istri Raja Fahd bin Abdul-Aziz Al-Saud dalam wawancara dengan Baria Alamuddine dari Al-Hayat, 26 April 2004, menyatakan tentang meningkatnya jumlah wanita yang tak menikah karena pemudanya tak mampu untuk menafkahi dan kecenderungan menikahi wanita asing, serta ketergantungan banyak keluarga Arab Saudi akan pembantu rumah tangga asing. Untuk soal terakhir, kesempatan ini disambar oleh tenaga kerja asing.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR