“Capek sedikit tidak perduli sayang... Asalkan tuan... Asalkan tuan senang di hati,” demikian Jali-Jali Jakarta yang dilantunkan biduan berkebaya Betawi dalam alunan gambang kromong.
Marunda Pulo diguyur hujan lebat pada suatu sore di Minggu kedua awal tahun ini. Meskipun demikian, ‘Rumah Si Pitung’ tampak semarak berhias tenda putih dan karpet biru. Hari itu warga setempat menggelar Festival Kampung Marunda. Ibarat lagu Jali-Jali Jakarta, biar kata lelah bercampur hujan, asal semua bisa senang bagi warga Marunda itu sudah cukup membanggakan.
“Ini kue buluder,” ujar Leli Yuliana (50) warga setempat, sambil menunjukkan kudapan khas Marunda mirip kue bolu berwarna kuning ceria. “Biasanya orang sini pakai buat slametan, atau hajatan.” Dia juga memperkenalkan kudapan lain, seperti kue talam udang , talam sekapur, dan kue dadar halawe yang didalamnya bersemayam saus susu.
“Ada satu kuliner khas Marunda yang tidak muncul, yaitu onde-onde api-api. Terbuat dari buah mangrove. Sayangnya, pohon mangrovenya sudah punah,” ungkap Bonaria Siahaan dari Yayasan Danamon Peduli yang mendukung festival ini. Pohon yang pernah membentengi kampung dari abrasi air laut itu kini hanya tersisa beberapa jumput di sepetak sudut kampung—itupun masih terlalu muda.
Kampung Marunda berada di wilayah Kecamatan Cilincing. Dalam kronik sejarah, kawasan tersebut pernah menjadi tempat persinggahan ekspedisi militer yang akan menaklukkan sebuah hamparan yang kelak kita kenal sebagai Jakarta.
Pada 1527, Faletehan dan prajurit Jayakarta bersiap di Marunda untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa. Menurut tradisi lisan setempat, Masjid Al Alam di Marunda didirikan oleh laskar Islam tersebut. Kawasan pesisir ini juga menjadi tempat persinggahan prajurit Sultan Agung asal Mataram yang bersiap menyerang Kastil Batavia di Muara Ciliwung pada 1628-29. Selanjutnya, ekspedisi militer Kerajaan Inggris di bawah komando Jenderal Sir Samuel Auchmuty menjamah sekitar kawasan itu pada 1811.
Menurut Firdaus Ali, pendiri Indonesia Water Institute, setiap tahun muka air laut di Teluk Jakarta naik sekitar 0,5 sentimeter. Keadaan itu diperparah dengan turunnya muka tanah metropolitan itu rata-rata 10 sentimeter setiap tahunnya. Data dari lembaga tersebut memperlihatkan bahwa sejak 2000, kawasan Marunda berada di bawah muka air laut rata-rata. Sejatinya, saat ini, tanpa tanggul-tanggul pengaman kawasan ini sudah dinyatakan tenggelam.
Festival Kampung Marunda ini dimulai sejak pagi hari, menampilkan bazar kuliner, pencak silat tradisi Marunda, marawis, dan setelah didera hujan barulah Sanggar Lenong Kembang Batavia muncul sebagai pamungkas. Lenong, sebagai pembawa pesan lewat kearifan lokal, mementaskan pesan moral tentang keterlibatan warga dalam membangun kampungnya dan peran koperasi yang dikelola oleh warga sendiri.
Penonton yang duduk di halaman situs cagar budaya Rumah Si Pitung pun menikmati kehangatan musik gambang kromong yang mengalun rancak. Pemain lenong telah bersiap, dan sang biduan pun mengakhiri lantunan tembangnya, “Jalilah jali dari cikini sayang... Jali-jali dari cikini... Jalilah jali sampai disini.”
Marunda, Dari Kue Buluder Sampai Ekspedisi Militer
Jauh dari gemerlapnya metropolitan dan diramalkan bakal tenggelam, namun kampung pesisir Jakarta ini menyimpan jejak sejarah dan budaya.
“Capek sedikit tidak perduli sayang, asalkan tuan asalkan tuan senang di hati,” demikian Jali-Jali Jakarta yang dilantunkan biduan berkebaya Betawi dalam alunan seperangkat gambang kromong.
Marunda Pulo usai diguyur hujan lebat pada suatu sore di Minggu kedua awal tahun ini. Meskipun demikian, ‘Rumah Si Pitung’ tampak semarak berhias tenda putih dan karpet biru. Hari ini warga setempat menggelar Festival Kampung Marunda. Ibarat lagu Jali-Jali Jakarta, biar kata lelah bercampur hujan, asal semua bisa senang bagi warga Marunda itu sudah cukup membanggakan.
“Ini kue buluder,” ujar Leli Yuliana (50) warga setempat, sambil menunjukkan kudapan khas Marunda mirip kue bolu berwarna kuning ceria. “Biasanya orang sini pake buat slametan, atau hajatan.” Dia juga memperkenalkan kudapan lain, seperti kue talam udang , talam sekapur, dan kue dadar halawe yang didalamnya bersemayam saus susu.
“Ada satu kuliner khas Marunda yang tidak muncul, yaitu onde-onde api-api. Terbuat dari buah mangrove. Sayangnya, pohon mangrovenya sudah punah,” ungkap Bona Siahaan dari Yayasan Danamon Peduli yang mendukung festival ini. Pohon yang pernah membentengi kampung dari abrasi laut itu kini hanya tersisa beberapa jumput di sepetak sudut kampung—itupun masih terlalu muda.
Kampung Marunda berada di wilayah Kecamatan Cilincing. Dalam kronik sejarah, kawasan tersebut pernah menjadi tempat persinggahan ekspedisi militer yang akan menaklukkan sebuah hamparan yang kelak kita kenal sebagai Jakarta.
Pada 1527, Faletehan dan prajurit Jayakarta bersiap di Marunda untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa. Menurut tradisi lisan setempat, Masjid Al Alam di Marunda didirikan oleh laskar Islam tersebut. Kawasan pesisir ini juga menjadi tempat persinggahan prajurit Sultan Agung asal Mataram yang bersiap menyerang Kastil Batavia di Muara Ciliwung pada 1628-29. Selanjutnya, ekspedisi militer Kerajaan Inggris di bawah komando Jenderal Sir Samuel Auchmuty menjamah sekitar kawasan itu pada 1811.
Menurut Firdaus Ali, pendiri Indonesia Water Institute, setiap tahun muka air laut di Teluk Jakarta naik sekitar 0,5 sentimeter. Keadaan itu diperparah dengan turunnya muka tanah metropolitan itu rata-rata 10 sentimeter setiap tahunnya. Data dari lembaga tersebut memperlihatkan bahwa sejak 2000, kawasan Marunda berada di bawah muka air laut rata-rata. Sejatinya, saat ini, tanpa tanggul-tanggul pengaman kawasan ini sudah dinyatakan tenggelam.
Festival Kampung Marunda ini dimulai sejak pagi hari, menampilkan bazar kuliner, pencak silat tradisi Marunda, marawis, dan setelah didera hujan barulah Sanggar Lenong Kembang Batavia muncul sebagai pamungkas. Lenong, sebagai pembawa pesan lewat kearifan lokal, mementaskan pesan moral tentang keterlibatan warga dalam membangun kampungnya dan peran koperasi yang dikelola oleh warga sendiri.
Penonton yang duduk di halaman situs cagar budaya Rumah Si Pitung pun menikmati kehangatan musik gambang kromong yang mengalun rancak. Pemain lenong telah bersiap, dan sang biduan pun mengakhiri lantunan tembangnya, “Jalilah jali dari cikini sayang... Jali-jali dari cikini... Jalilah jali sampai disini.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR