Front Pembela Internet (FPI) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mendaftarkan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor telekomunikasi, Jumat (17/1/2014).
Uji materi itu ditujukan terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP) dan Pasal 16 dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi).
Juru bicara FPI, Suwandi Ahmad mengatakan, dua UU ini inkonstitusional karena telah melanggar hak berusaha dan hak mendapatkan informasi. Dalam industri telekomunikasi ada berbagai macam PNPB, yaitu Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) frekuensi, telekomunikasi, jasa telekomunikasi, dan konten.
"Industri telekomunikasi, khususnya penyedia jasa internet, merasa terlalu terbebani oleh berbagai biaya BHP," kata Suwandi dalam siaran pers yang diterima KompasTekno.
Selain itu, menurut Suwandi, rumusan tarif BHP jasa telekomunikasi dinilai tidak fair, karena dihitung 1% dari pendapatan kotor (revenue). Sedangkan pajak pendapatan badan saja dihitung berdasarkan keuntungan (pendapatan dikurangi pengeluaran).
Selain itu, pendapatan-pendapatan dari usaha sampingan, yang sebenarnya dari usaha non-telekomunikasi, juga dihitung sebagai revenue yang menjadi obyek BHP.
"Masalah hukumnya adalah, besaran dan tarif BHP itu ditentukan sesuka-sukanya oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)," tegas Suwandi.
FPI dan APJII menyoroti pasal 2 dan pasal 3 UU 20/1997 tentang PNBP yang mengatakan bahwa jenis dan tarif PNPB selain yang disebut dalam UU tersebut, dapat diatur melalui Peraturan Pemerintah. Hal ini dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan pasal 23A UUD 1945 yang mengatakan “pajak dan segala pungutan memaksa lainnya diatur dengan Undang-undang."
"PNPB adalah salah satu pungutan memaksa, maka tak boleh diatur oleh PP," Suwandi melanjutkan.
Pungutan-pungutan ini bukan hanya mengurangi keuntungan pebisnis internet, tapi juga membuat industri sulit berkembang dan berekspansi. Tercatat, ada 12 perusahaan penyelenggara jasa internet yang ditutup oleh Kemenkominfo karena tidak mampu membayar BHP.
Karena itu, FPI dan APJII berharap Kemenkominfo mempertimbangkan penundaan pungutan BHP Telekomunikasi selama proses hukum di MK ini berlangsung. "Kami juga meminta DPR RI menunda pembahasan RUU Penerimaan Negara Bukan Pajak yang masuk dalam daftar prolegnas 2014 selama proses hukum berlangsung," tutur Suwandi.
Kenaikan harga dan kesenjangan informasi
Menurut Suwandi, berbagai pungutan pada industri internet ini akan berdampak pada kenaikan harga yang harus ditanggung konsumen. Selain itu, hal ini akan menimbulkan kesenjangan digital, yaitu kesenjangan terhadap akses internet antara warga yang mampu dan kurang mampu.
"Pertumbuhan pengguna internet Indonesia saat ini baru mencapai sekitar 20% dari masyarakat Indonesia. Artinya, 80% masyarakat Indonesia tak punya akses internet," tegas Suwandi.
Kesenjangan digital akan mengakibatkan kesenjangan informasi, yang berarti kesenjangan mendapat pengetahuan, kesenjangan mendapatkan kesempatan usaha (misalnya usaha online), maupun kesenjangan untuk menyuarakan pendapat dan masalah yang dihadapi.
Penulis | : | |
Editor | : | Deliusno |
KOMENTAR