Hujan deras turun disertai angin kencang di Jepara, pagi hari itu, Rabu (22/1). Namun di Jalan Jepara Lebak Km 6, Wonorejo, Jepara, Jawa Tengah, lokasi PT Cambium Furni Industri, aktivitas tetap berjalan seakan tak terpengaruh cuaca muram.
Perusahaan manufaktur dan eksportir outdoor furniture ini malah tampak "hangat" dengan kesibukan pekerja berseragam hijau dan bermasker yang giat memproduksi furnitur, dari pengamplasan hingga ke tahap akhir pengemasan.
Aditya Bayunanda—mewakili rombongan dari WWF-Indonesia, ASMINDO, serta Uni Eropa dalam kunjungan ke sana— mengatakan kalau PT Cambium merupakan salah satu perusahaan mebel yang sudah mendapatkan sertifikat legalitas kayu.
"Kami ingin belajar dari bapak-bapak sekalian yang sudah mengimplementasikan SVLK," kata pria berkacamata yang biasa dipanggil Dito itu, saat membuka diskusi.
Daniel Haryono, Manager PT Cambium Furni, berujar bahwa dengan program SVLK ini, memupus isu ilegal logging serta berbagai isu miring tata kelola hutan Indonesia. "Kami berterima kasih pihak Uni Eropa membantu dan mendukung kami, memotivasi lebih semangat untuk mendapatkan SVLK. Dengan brand legal, buyer tenang, mantap barang (kayu) ini legal. Akhirnya jadi membuka market internasional lebih luas," tuturnya.
Paul Soegiarto, pemilik PT Cambium Furni, memaparkan, produk tersertifikasi legal ini menambah kepercayaan pembeli. Mereka bisa menjawab kebutuhan pasar. "Kami pun akan terus mengikuti perkembangan isu-isu internasional," ungkapnya.
Pendampingan seiring proses
Sementara Direktur Marketing PT Cambium Furni Timotius Budiawan, menegaskan, home industry butuh pembinaan seiring proses panjang SVLK, demi mengubah cara pikir. "Umumnya ada ketakutan dan kesulitan untuk mengisi surat-surat (dokumen); melengkapi administrasi tertata dianggap memerlukan biaya dan waktu lagi."
SVLK mensyaratkan berbagai legalitas izin usaha yang sudah ada sejak perusahaan berdiri, seperti Amdal, izin ekspor, ataupun NPWP. Di sinilah letak kesulitannya.
"Maka sebetulnya kalau perusahaan yang sudah besar, tidak masalah. Tapi untuk supplier kami yang perusahaan-perusahaan kecil belum tertata administrasi produksinya," kata Haryono. Tapi, ia menambahkan, kewajiban SVLK menjadi juga jadi banyak membantu lebih baik menata perusahaan.
Faktor lain terkait kendala SVLK bagi usaha kecil dan menengah adalah juga budaya setempat di Jepara yang tak mau repot. "Mereka (para perajin) itu suka berkilah, \'gitu aja kok repot-repot?\'" tambah Timotius.
Pernyataan itu disambut oleh Rudy Luwia, Wakil Ketua ASMINDO. "Karena itulah dibutuhkan ada pihak yang mendampingi untuk menginformasikan mengenai peraturan sekarang di perdagangan kayu dunia yang menuntut pengadaan kayu yang bertanggung jawab," saran Rudy.
"Mereka harus disadarkan: tanpa SVLK tidak mungkin bisa ekspor."
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR