Tidak seperti anggapan banyak ilmuan sebelumnya, penelitian terbaru menunjukkan perubahan warna kulit orang-orang Eropa purba bukan karena paparan sinar matahari. Namun, perubahan warna kulit dari hitam ke putih pada orang Eropa purba disebabkan makanan yang mereka produksi.
Selain itu, penemuan ini sekaligus menjawab, putihnya kulit orang Eropa tak selama yang dibayangkan yaitu 40.000 tahun yang lalu. Informasi terbaru menyebut, perubahan itu baru berlangsung sekitar 7.000 tahun yang lalu. Analisis genitik ini dilakukan terhadap DNA terekstraksi dari gigi dan kerangka laki-laki purba yang disebut La Brana 1 tang hidup sekitar 7.000 tahun yang lalu. Kerangka ini ditemukan pada 2006 pada sebua gua di Pegunungan Cantabrian, Spanyol. Temuan ini sendiri diterbitkan pada 26 Januari oleh jurnal Nature.
Para ilmuan terdahulu percaya, perubahan kulit manusia Eropa dari nenek moyang Afrika mereka berlangsung sekitar 40.000 tahun yang lalu, ketika mereka mulai pindah ke daeraha utara dengan sedikit sinar matahari. Dengan kulit yang lebih ringan, manusia Eropa kuno lebih mudah untuk menyerap sinar ultraviolet. Ini adalah sebuah upaya adaptasi untuk menjaga kadar vitamin D di lokasi yang minir paparan sinar matahari.
Tapi ternyata, bukti terbaru DNA menunjukkan, manusia Eropa masih berkulit gelap sampai 7.000 tahun yang lalu. Perpindahan dari daerah yang lebih banyak terkenal sinar matahari ke daerah yang lebih tinggi ternyata tidak bisa dijadikan tolok ukur utama perubahan kulit itu.
Lantas para peneliti kini sepakat, bahwa perubahan kulit hitam ke putih orang-orang Eropa karena makanan yang mereka produksi dan mereka makan.
Analisis ini adalah yang pertama dilakukan terhadap genom hunter-gather dari zaman Mesolitikum—kurun waktu yang berlangsung antara 10.000 hingga 5.000 tahun yang lalu. Masa Mesolitikum adalah ketika manusia purba mulai berevolusi dari berburu dan meramu ke sistem produksi dengan bertani dan bercocok tanam. Kondisi ini memungkinkan manusia purba Eropa lebih banyak mengonsumsi biji-bijian alih-alih daging binatang.
“Dalam teori produksi pertanian, terlalu banyak sereal akan mengurangi kandungan vitamin D, sehingga manusia-manusia Eropa lama lebih cepat kehilangan pigmennya,” ujar Carles Lalueza-Fox, pakar palegonomik di Pompeu Fabra University, Spanyol, kepada LiveScience.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR