Pukul 17:00 WITA sebetulnya terlalu sore untuk pengamatan burung dengan komodo merayap di mana-mana. Tapi Jusuf Jenata dan Prayitno, polisi hutan yang telah bertugas lebih dari 25 tahun di Pulau Komodo meyakinkan kami.
“Masih aman. Komodo bukan hewan malam, saat ini pasti sudah menuju sarang. Tapi tetap waspada, sesekali harus lihat ke sekeliling. Komodo bergerak tanpa suara karena tiada serasah di lantai hutan. Jangan terpisah dari rombongan.” Wali kukun, tongkat pemandu berujung dua, penghalau ora, komodo dalam bahasa setempat, yang mereka bawa, cukup menenangkan.
Di remang senja, dibantu teropong, masih tertangkap kuau hitam timor, pergam (merpati) hijau, kepodang kuduk hijau, tekukur, perkutut, gagak flores, srigunting wallacea di pucuk palem, kapuk, gebang, dadap dan kedondong. Di lantai hutan, sepasang ayam hutan dan terbirit-birit menghindar.
Dari puncak Bukit Sulphurea, di lembah seberang ada satu pohon mencolok dengan tajuk dipenuhi titik putih berkepak ribut jelang tidur. Di sana lah terdapat kakatua kecil jambul kuning. Saat pulang, Jusuf dan Prayitno sudah perlu menyalakan senter.
Air berlimpah untuk mandi. Menuju restoran, saya putuskan memakai coral booties (sepatu bot pantai) jaga-jaga terhadap ular velvet di padang rumput seperti yang saat itu meringkuk di bawah panggung restoran. Ini jam mereka berkeliaran. Ada jeritan nyaring tunggal dari berpasang titik cahaya di bawah pohon. Setelah menyesuaikan pandangan dalam gelap, nyatalah mereka … rusa!
Jelang subuh, saya terjaga. Ingin menghirup udara segar, takut ada komodo di depan pintu. Akhirnya menunggu terang tanah dan mengintip dari tirai. Hampir pukul enam pagi, saat tepat mengamati burung berkicau nyaring. Kami coba jalur baru. Pengamatan burung dan hewan lain justru disarankan di puncak kemarau, Juli-Agustus. Ketika pohon terlucuti, memamerkan biota yang biasanya sembunyi di balik rimbun hijau.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR