Petrus Kim Novak (63) mulai membakar tiga buah setanggi ladan berukuran besar. Sulutan api dari korek gas menyambar cepat, lalu setanggi ladan itu berasap memutih mewangi cendana. Kim segera melakukan soja tiga kali di hadapan meja sesajen yang dipenuhi pelbagai hidangan dan perangkat sembayang Imlek.
Tanah basah usai hujan deras diiringi angin kencang, 30 Januari 2014. Malam jelang Imlek di sebuah kota pelabuhan kecil yang kelak menjelma menjadi pelabuhan internasional di daerah Timur Indonesia, Atapupu-Atambua, Nusa Tenggara Timur.
Bagi orang Cina Timor, perayaan tahun baru Imlek merupakan satu dari empat perayaan penting setiap tahun yang harus mereka jalani. Mereka memulai perayaan tahun baru tradisi Cina ini pada bulan Januari, berlanjut ke ziarah kubur (cengbeng) pada bulan Maret-April, lalu upacara memberi makan arwah pada November, dan perayaan Natal pada Desember.
“Sembayang yang pertama adalah untuk Tuhan Allah, kedua untuk roh leluhur dan keluarga, ketiga untuk roh lainnya dan alam semesta,” ujar Kim yang pemeluk agama Katolik. “Malam ini kami sembayang Imlek di rumah dengan seluruh anggota keluarga besar Bitinberek-Halitaek keturunan Raja Nimponi-Manlea.”
Adik Kim, Sisilia Ali Taolin (54) mengatakan, ”Kami ini keturunan Cina, kami generasi ke lima, sampai cucu sudah generasi ke tujuh. Kami Cina Timor, keturunan Sina Mutin Melaka—orang Cina Putih dari Malaka.”
Sisilia melanjutkan, “Kakek orang Cina kawin mawin dengan beta pun nenek bermarga Taolin anak Raja Nimponi. Sudah tiga ratus tahun lalu tampaknya. Kami ini keturunannya. Sampai sekarang kami masih mendapatkan perlakuan khusus dalam suku kami, karena kami bangsawan.”
Saya bertanya tentang istilah Tionghoa Timor kepada mereka. Sisilia dan Kim kompak menjawab, “Kami ini Cina Timor, bukan Tionghoa Timor, Tionghoa itu istilah dari Jawa sana, jangan paksakan kami menggunakan istilah Tionghoa.”
Malam itu, saya dan fotografer National Geographic Indonesia, Feri Latief, mendapat kesempatan mengabadikan momentum perayaan Imlek oleh salah satu bangsawan tanah Timor di Kabupaten Belu, NTT.
Upacara pun dimulai. Meja sesaji yang tertutup kain merah diletakkan di teras luar rumah menghadap arah utara, “menghadap laut tempat kakek nenek moyang mendarat di pelabuan Namon Sukaer,” ujar Kim.
Meja itu dipenuhi aneka makanan dan minuman, berbaris rapi. Baris terluar dimulai dengan tempat penancap batang dupa atau hio lou. Kemudian deretan cangkir teh dan cawan arak, roti dan kue kering. Baris selanjutnya berisi lauk-pauk: masakan sayur, ikan, sapi, babi dan ayam rebus bekakak. Baris terakhir, piring nasi dan sepiring kecil irisan tujuh buah jahe disertai taburan garam.
“Ini semua makanan minuman kesukaan leluhur, araknya sopi, minuman khas Timor,” tambah Kim. Di samping sajian itu terdapat nampan buah yang terdiri dari pisang, jeruk bali, dan potongan tebu. Menurut Kim dan keluarganya, seluruh hidangan harus dalam jumlah ganjil, mulai dari tiga, lima, tujuh dan selanjutnya.
Mayoritas orang Atambua mengikuti aturan lima tujuh. “Kata orang tuan, lima itu melambangkan lima jari tangan kaki manusia, tujuh adalah jumlah hari dalam satu minggu. Angka penting dalam kehidupan manusia,” ujar Kim.
Selesai bersoja, ia menancapkan tiga setanggi ladan kecil ke tempat dupa. Tak lama, ia membagikan tiga-tiga pada seluruh anggota keluarga. Mereka secara bergantian bersoja, dan masing-masing menancapkan setanggi ladan ke tempat dupa.
Kim beringsut mendekati meja sesajen. Ia mengangkat teko teh bersoja kemudian menuangkan kembali ke dalam cangkir untuk yang kedua kalinya.
“Ini untuk roh leluhur kami, orang Cina yang kawin dengan nenek serta keluarga besar Nimponi-Manlea,” ujar Kim. Nanti menjelang soja yang ketiga, kita miringkan meja ke arah yang lain untuk persembahan kepada roh rakyatnya Raja Nimponi-Manlea dan alam semesta.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR