"Kalau Kelud meletus lagi, semoga saat itu saya tidak lagi menjadi Kepala PVMBG," ujar Surono di kawah Kelud, Jawa Timur, 4 November 2011 silam.
Ia menyampaikan rasa jeri pada letusan Gunung Kelud di masa datang, "Saya tak bisa membayangkan bagaimana letusan Kelud ke depan."
Saat Kelud akhirnya meletus, Kamis (13/2) malam, Surono memang tidak lagi Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Namun ia pun tak bisa lepas, karena pada Jumat (14/2), ia dilantik jadi Kepala Badan Geologi.
Teks Sanskerta "Goentoer Pabanjoepinda" yang ditulis pada1334 dan dikutip geolog Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo dalam desertasinya "Etude de l'eruption de 1990 du volcan Kelud" (1992) menggambarkan karakter letusan Kelud di masa itu, demikian:
...Bumi mengguncang, uap panas dimuntahkan dari gunung api dan banyak abu jatuh, gemuruh guntur, petir besar-besar... muntahan lahar segera tiba kemudian...
Lebih dari 1.000 tahun, upaya mengatasi letusan Kelud fokus pada muntahan lahar ini.
Upaya pertama dan tertua yang tercatat mengatasi lahar Kelud adalah pembangunan sudetan dari Sungai Konto ke Sungai Harinjing (Serinjing) di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kediri. Prasasti Harinjing atau Sukabumi di sekitar Desa Siman mencatat itu.
Prasasti berangka tahun 921 Masehi yang diperkirakan dibuat di era Tulodong itu memuat informasi pembangunan bendungan dan saluran sungaiyang keduanya dibangun tahun 804 M. Kanal buatan itu dikenal sebagai Sungai Harinjing.
Era Belanda, pengendalian letusan Kelud dengan merekayasa danau kawahnya. Saat meletus tahun 1919, volume air danau kawah 40 juta meter kubik. Jarak luncur lahar letusan 37,5 kilometer. Korban tewas mencapai 5.110 jiwa.
Dengan berpatokan ancaman Kelud membesar seiring besarnya volume air kawah, Belanda membuat saluran pembuang.
Namun, akhir 2007, raut Kelud berubah total. Danau kawah yang jadi ciri khas dan berusia 2.400 tahun itu menghilang. Kelud tak lagi 'kelud'. Tiada lagi danau kawah yang menyapu saat letusan.
Nama Kelud (dalam bahasa Jawa, artinya sapu) dilekatkan ke gunung ini karena saat meletus menyemburkan lahar letusan, lalu menyapu perdesaan di lerengnya.
Perubahan karakter—bahkan identitas— ini membuka masalah baru. Sebelumnya, PVMBG menggunakan perubahan suhu dan warna air danau untuk memantau aktivitasnya, lantaran Kelud irit mengirim gempa saat krisis.
"Kami harus memikirkan cara lain memantau Kelud karena danaunya diganti kubah lava," kata Surono kala itu.
Daya eksplosif Kelud sekarang membongkar kubah batu dan melontarkan jadi hujan kerikil, hingga abu.
Karakter dan sifat gunung berubah. Gunung api itu organisme Bumi yang hidup: lahir, tumbuh, tidur, mati, lalu terbangun, dan meletus.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR