Tahun 1966, cita-cita itu terwujud dalam sebuah saung berukuran 100 meter persegi di sebuah jalan kecil bernama Jalan Padasuka, Bandung.
Udjo (alm) yang lebih populer disapa Mang Udjo memang sudah tiada. Namun, kini Saung Angklung Udjo (SAU) berkembang menjadi pusat industri seni pertunjukan angklung yang tidak kurang dikunjungi 2.000 penonton setiap hari. Lokasi yang tadinya 100 meter persegi, dan ditempati 12 orang, kini meluas menjadi 1,3 hektare. Bahkan, menurut Taufik Udjo, anak Mang Udjo yang kini menjadi Direktur Saung Angklung Udjo, mereka sudah membeli sejumlah lahan lagi dari warga sekitar.
Siang itu sekitar 200 anak berusia 6-17 tahun menunjukkan kebolehan mereka bermain angklung, menyanyi, dan menari di hadapan sekitar 150 wisatawan. Para seniman muda itu berasal dari anak-anak Kampung Cicaheum, tempat SAU berdiri. ”Karena memang sejak awal Mang Udjo menerapkan pola asuh. Artinya, mengajarkan seni bermain angklung dan kesenian Jawa Barat pada umumnya kepada anak-anak,” kata Taufik.
SAU kemudian lahir menjadi pusat seni pertunjukan seni tradisi terbesar di Jawa Barat. Ia berhasil mengangkat angklung dari puing-puing tradisi, menjadi seni yang mendunia. Kini banyak negara menjadikan angklung sebagai medium pendidikan bagi anak-anak. ”Di Korea, Singapura, dan beberapa negara lain, angklung dimasukkan dalam kurikulum pelajaran di sekolah,” ujar Taufik. Bahkan, angklung kemudian ditetapkan menjadi warisan budaya dunia tak benda oleh UNESCO tahun 2010.
Mungkin itu sebuah pencapaian. Namun, menurut Atasi Amin, pemerhati kebudayaan Sunda, SAU telah lahir menjadi situs pertama yang membawa seni tradisi bertransformasi menjadi seni kontemporer. Atasi yang juga mengelola Studio Jeihan di kawasan Padasuka, Bandung, menuturkan, SAU bahkan lahir menjadi pusat industri kreatif terbesar di Jawa Barat.
”Angklung tak hanya menjadi instrumen, tetapi suaranya menggema sebagai tanda kreativitas para penemunya yang melampaui zaman,” kata Atasi.
Kawasan kreatif
SAU kini tidak hanya menjadi arena menonton angklung bagi wisatawan. Kawasan ini juga telah menjelma menjadi kawasan kreatif. Saung seukuran 100 meter persegi yang dibuat Mang Udjo sudah berubah menjadi Bale Karesmen, mirip pendopo di Jawa, yang bisa menampung 2.000 penonton sekaligus. Selain itu, di halaman samping kanan terdapat panggung terbuka untuk para penonton dalam jumlah terbatas.
Di halaman belakang terdapat bengkel kerja pembuatan angklung yang dipimpin Rahmat sejak tahun 1976. Bengkel kerja ini tidak kurang melibatkan sampai 400 pembuat angklung setiap hari. Di bengkel ini tidak kurang diproduksi 14.000 angklung setiap bulan. ”Itu sebagian besar untuk memenuhi pesanan dalam negeri karena hampir semua sekolah sekarang memiliki angklung,” kata Kang Rahmat.
Di areal SAU juga terdapat artshop yang menjajakan berbagai cendera mata khas Jawa Barat. Bahkan, di halaman samping kanan terdapat guest house yang memiliki sembilan kamar. ”Itu untuk para tamu atau orang-orang yang belajar angklung di sini,” ujar Ayu Setianingsih, karyawan SAU.
Di sela seluruh bangunan itu terdapat beberapa rumpun bambu dari jenis bambu hitam, bambu apus, dan bambu gombong. Ketiga jenis bambu inilah yang menjadi bahan dasar pembuatan angklung.
Pencapaian ini, kata Taufik, tidak terwujud dalam waktu singkat. SAU bertransformasi hampir setengah abad untuk mencapai bentuknya seperti sekarang. Ide semula melestarikan seni angklung Sunda, telah menjelma menjadi pusat seni pertunjukan dan pendidikan seni Jawa Barat yang setiap hari menggelar sampai empat sesi pementasan.
Di dalamnya setidaknya terlibat lebih dari 2.000 orang terdiri dari seniman, wisatawan, dan para pengelola jasa wisata setempat.
Dulu, angklung identik dengan seni jalanan yang para pemainnya mengamen di jalan-jalan. Angklung adalah tradisi yang hidupnya merana. ”Mang Udjo juga awalnya melakukan itu. Ia datang ke beberapa tempat untuk mempertunjukkan angklung,” kata Taufik.
Tetapi Udjo tak kenal lelah. Bersama gurunya, Daeng Soetigna (alm), ia maju terus. Daeng Soetigna telah menciptakan angklung doremi, dengan tangga nada diatonis, yang bisa memainkan lagu-lagu populer. ”Tetapi Mang Udjo kemudian yang mempertunjukkannya. Karena memang Daeng Soetigna lebih cenderung menjadi pendidik. Ia, misalnya, mengajarkan angklung kepada para pramuka,” tutur Taufik.
Siang itu, Kang Yayan, kakak kandung Taufik Udjo, memandu para wisatawan menggelar konser bersama. Setiap orang memegang satu angklung. Dengan hand sign yang diciptakan Mang Udjo, dalam seketika mengalun lagu ”Burung Kakak Tua”, yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal oleh para wisatawan.
”Ternyata kita bisa menggelar konser besar secara dadakan,” ujar seorang wisatawan asal Belanda. Mereka riang dan angklung melekat di benaknya. Bukti bahwa tradisi bisa makin seksi jika diolah dengan sentuhan seni dan manajemen masa kini.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR