Siti Hasanah menikmati sepiring mie instan yang dimakan bersama Sholeh, suaminya. Sesekali Siti Hasanah memperbaiki kain gendongan yang menutupi tubuh anaknya yang masih berusia 2 tahun.
Perempuan ini mengaku baru sempat makan, Kamis (3/4/2014) dini hari itu, setelah diserang panik sejak sore. Peringatan waspada tsunami memicu kepanikan tersebut. Rumahnya di Dusun Pancer, Desa Sumber Agung, Banyuwangi, Jawa Timur, hanya berjarak 100 meter dari bibir pantai. Satu lagi, ada trauma tsunami pada 1994.
Peringatan tsunami pada Rabu (2/4) petang datang dari otoritas resmi, Badan Nasional Pengendalian Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Pemicu peringatan itu adalah gempa berkekuatan 8,8 skala Richter di Cile, yang terjadi Selasa (1/4) malam waktu setempat atau Rabu pagi WIB.
Berdasarkan peringatan tsunami itu, gelombang tinggi yang khas dari pola gempa tertentu tersebut diperkirakan tiba di Indonesia sekitar 20-an jam dari kejadian gempa. Bagi 4.000-an warga Pancer seperti Hasanah, tak ada pikiran selain sesegera mungkin mengungsi.
Jumat Pon 20 tahun lalu
Kepanikan warga Pancer, bisa jadi lebih banyak dipicu trauma peristiwa hampir 20 tahun lalu. Pada 2 Juni 1994, kampung mereka mereka diterjang tsunami. "Saat itu saya belum menikah. Kejadiannya dini hari. Tiba-tiba saja ombaknya tinggi sekali," kenang Hasanah.
Tubuh Hasanah sempat terseret gelombang tersebut. "Saya bisa pegangan bekas pohon kelapa," ujar dia dengan mata menerawang. Hari itu, Jumat dengan pasaran pon menurut penanggalan Jawa, 239 warga dusun Pancer tewas sebagai korban tsunami.
"Tadi saya sempat ngobrol sama tetangga, katanya Jumat (4/4) ini Jumat pon. Persis 20 tahunnya tsunami di sini. Jumat pon keramat," tutur Hasanah dengan suara lirih dan bergetar. Dia mengaku trauma itu belum hilang melihat ganasnya gelombang menelan dusunnya, meski sudah nyaris 20 tahun lalu.
Hasanah pun bertutur, dia sempat mencari kerang di pantai pada Rabu sore. Dia mengaku terkejut air laut saat itu terlihat surut lebih jauh ke tengah. "Saya langsung takut setengah mati karena tanda-tandanya sama kayak 1994," ujar dia. Ditambah, ada informasi dari kerabat yang mengatakan memang bakal ada tsunami pada Kamis pagi.
Maka, tak pakai pikir panjang atau menimbang apa pun lagi, Hasanah mengungsi ke balai desa bersama keluarganya. Tak perlu pula untuk tahu lokasi negara bernama Cile dan paparan bagaimana kampungnya bisa terancam tsunami lagi.
Hasanah semula meminta Sholeh membawa keluarga mereka mengungsi ke bukit Babakan. Namun, kondisi kesehatan anak mereka membuatnya mengalah mengungsi ke balai desa.
"Maunya ke Babakan kan di sana hutan perbukitan pasti aman, tapi anak saya kasihan digigit nyamuk," ujar Hasanah. Dia sedikit terhibur karena banyak kerabatnya juga mengungsi di sini. "(Lagi pula) dulu daerah sini nggak kena tsunami karena jaraknya ya lumayan jauh ada kalau 7 kilo dari Pancer" katanya.
Menurut ibu beranak satu ini, balai desa Sumber Agung memang lebih dikhususkan untuk perempuan, anak-anak, dan orang tua. "Kalau yang punya keluarga ya nyebar sudah kemana-mana," katanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR