Kami baru saja tiba di stasiun kereta Rueifang ketika gerimis menerpa. Waktu menunjukkan pukul 10.10 waktu Taiwan. Tak terasa sudah satu jam kami berkereta dari Taipei Main Station. Tujuan kami adalah menghabiskan satu hari di desa pertambangan Juifen di distrik Rueifang, Taiwan.
Apple Lu, teman kami warga Taiwan segera meloncat ke platform stasiun. “Huan ying Taiwan,” katanya. Selamat datang di Taiwan, ucapnya sambil senyum.
Desa Juifen sejak 1990 telah dikreasikan oleh pemerintah Taiwan menjadi desa wisata tambang. Apple menerangkan kepada saya, mulanya Juifen hanyalah sebuah desa yang terisolasi karena lokasinya yang jauh di pegunungan.
“Dulu para petambang jarang turun ke kota karena semua disediakan di sana. Mulai dari kebutuhan pangan, sampai kebutuhan biologis,” katanya setengah berbisik.
Kami menaiki mini bus bercat dasar putih dengan garis-garis merah serta motif ukiran bunga di dindingnya. Perjalanan menanjak menuju Juifen ditempuh dalam setengah jam melaui jalanan yang berliku dan menanjak.
Di Juifen, Bus berhenti di tepi jalan utama yang dibangun pemerintah Taiwan pada 1990. Lalu berjalan kaki menanjak sekitar 100 meter menuju Juifen Old Street.
Memasuki Juifen Old Street, kami langsung disuguhi jalan yang padat dan sempit karena bangunan ditata berhadap-hadapan dan menyisakan ruang untuk pejalan kaki selebar 3 sampai 4 meter. Di lorong-lorong ini, saya merasa bagaikan berada di tengah pasar pada desa-desa yang sering saya tonton di film-film kung fu. Suasananya riuh dan ramai.
Para pedagang menawarkan berbagai macam hal. Sebagian diantara pedagang itu menggunakan pengeras suara yang dikaitkan di kepala dengan speaker mini yang mereka gantungkan di pinggang. Barangkali ini konsekuensi bila wisata telah menjadi massal.
Kami memutuskan untuk berpisah disini karena tidak memungkinkan berjalan dalam rombongan sementara banyak sekali manusia berseliweran.
Pertambangan batu bara sudah dimulai sejak zaman Jepang menguasai Taiwan. Namun eksploitasi besar-besaran dimulai sejak 1971, ketika cadangan 220 ribu ton batu bara ditemukan di wilayah ini. "Emas hitam" ini kemudian menjadi primadona selain emas murni di Juifen. Namun eksploitasi batu bara hanya berlangsung selama 20 tahun, pada 1990 cadangannya menurun drastis.
Saya mulai berjalan sendiri, sementara mahasiswa Indonesia lainnya juga melakukan hal yang sama. “Kita baiknya memetik pelajaran sendiri dari perjalanan ini,” kata mereka saat kami berpisah. Saya mulai mengeksplorasi wiayah ini dengan buku catatan dan kamera.
Menyisir masa lalu
Jepang benar-benar membawa perubahan atas daerah terisolir ini. Apple Lu menceritakan bagaimana terisolirnya Juifen di masa lampau. Jalan sempit dengan pemukiman yang berjarak. Serta orang-orang desa yang bertani. Kembali ceritanya itu mengingatkan saya pada film-film kung fu berlatar zaman dahulu. Kini, Juifen telah menjadi pusat wisata tambang yang apik dengan arsitekturnya yang menawan.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR