Kain tenun asli suku Baduy, yang berdiam di pelosok Provinsi Banten, tergolong semakin langka untuk didapatkan.
Apalagi, hasil tenunan suku Baduy Dalam yang sejak ratusan tahun lalu memutuskan hidup mengisolasi diri dari dunia luar dan modernisasi.
Hal tersebut, diungkapkan Don Hasman, fotografer profesional senior yang sudah 39 tahun menekuni dunia suku Baduy Dalam, saat mengadiri acara pameran seni budaya Baduy di Tokyo, Jepang, Jumat (16/5).
Ia mengatakan, kelangkaan hasil tenunan itu disebabkan jumlah populasi Baduy Dalam yang semakin sedikit. Kekinian, warga Baduy Dalam hanya tersisa 1.200 jiwa.
Selain itu, keengganan generasi muda mereka untuk menenun juga menjadi masalah tersendiri bagi pelestarian kain tenunan.
Bahkan, kata dia, kekinian praktis tinggal lima orang lanjut usia (lansia) yang setia meneruskan tradisi pembuatan kain tenun.
"Saya berusaha untuk melestarikan pembuatan kain tenun Baduy Dalam. Salah satunya, saya panjarkan uang Rp.500 ribu untuk sebuah kain tenun yang dibuat mereka. Dengan begitu, mereka senang dan ada motivasi untuk terus menenun," tuturnya.
Setelah kain tenun itu selesai, Hasman menjualnya. Uang hasil penjualan itu, lantas ia gunakan untuk mengembangkan, melestarikan, dan memotivasi suku Baduy agar tetap menenun.
Rukiyah, warga suku Baduy Luar yang memamerkan keahliannya menenun di Tokyo, Jepang, mengakui peminat kain tenun Baduy terbilang banyak.
"Banyak tamu dari luar datang melihat-lihat kerajnan tangan suku Baduy termasuk banyak yang tertarik membeli kain tenun Baduy yang memang memiliki corak tersendiri dan cantik," paparnya.
Rukiyah yang baru pertama kali ke Jepang merasa sangat senang berada di Jepang karena memang sangat berbeda dengan keadaan di kampungnya, kampung Gajeboh yang diakuinya sangat sederhana segalanya di sana.
"Di Tokyo semua serba modern sangat indah sekali kota ini, saya senang di sini," tandasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Santi Hartono |
KOMENTAR