Ketika Soetomo dan kawan-kawan mendirikan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, sudah pasti tidak terbayangkan sebelumnya bahwa tanggal itu akhirnya ditetapkan sebagai hari kebangsaan sebuah negeri yang belum tiga tahun merdeka.
Semula 20 Mei hanya milik Boedi Oetomo dan para pendukungnya. Kemudian diusung oleh Parindara, masih dalam aura Soetomo. Sekalipun nasib bangsa telah ditentukan lewat Proklamasi Kemerdekaan namun beberapa kelompok nasionalis masih merasa perlu memiliki pijakan dari masa lalu yang menandai sebuah kesadaran kebersamaan, sebuah kebangunan, sebuah kebangkitan.
Di tahun 1948, disepakati bahwa hari pembentukan Boedi Oetomo menjadi tengaran bersama secara nasional untuk merenungi nilai-nilai kebangsaan sebagai pondasi menjalani kehidupan berbangsa bernegara.
Jauh sebelum Soetomo membentuk Boedi Oetomo, telah terjadi pula berbagai upaya pembaruan, yang dilakukan oleh perseorangan maupun kelompok masyarakat, untuk mengubah keadaan di Hindia Belanda. Perubahan tidak lagi diupayakan melalui perlawanan fisik dan senjata, tetapi menempuh cara-cara lain yang tidak menggunakan kekerasan dan pertumpahan darah.
Sejarah mencatat perjuangan seorang dr. Rivai yang memiliki pena setajam pedang. Lulusan STOVIA itu secara berani memulai sebuah tradisi: jurnalistik yang diarahkan pada pembaruan kehidupan.
Baik melalui Pewarta Wolanda, Bandera Wolanda, dan kemudian Bintang Hindia, ia secara terbuka mengangkat isu-isu keterbelakangan masyarakat – khususnya dalam bidang pendidikan.
Dengan cara yang berbeda, Kartini juga mengangkat masalah pendidikan ke permukaan, sebagai salah satu jalan keluar menuju perubahan-perubahan yang dapat meningkatkan harkat hidup masyarakat kebanyakan.
Di awal abad XX itu, peralihan abad dianggap sebagai permulaan yang sangat menjanjikan. Matahari terbit menjadi perlambang pergantian waktu yang memberi secercah harapan. Semangat pengharapan itu kemudian mendapat landasan yang meyakinkan, ketika berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar Hindia Belanda ikut membangun kondisi obyektif yang sangat kondusif bagi suatu perubahan.
Berita kematian Jose Rizal di tahun 1896 sebagai martir dalam proses kemerdekaan Filipina. Lalu kemenangan Jepang atas Rusia di 1904-1905 memiliki dampak yang luar biasa. Kemenangan Asia atas Eropa secara psikologis telah mengungkit semangat para intelektual bumiputera yang jumlahnya mulai tumbuh besar.
Supremasi bangsa Eropa yang telah beratus tahun menjadi bagian tak terpisahkan dari kesadaran masyarakat pada umumnya, tiba-tiba runtuh dalam sekejap gempuran tentara dan angkatan laut Jepang. Seperti kisah Daud dan Goliath, yang dianggap anak bawang ternyata mampu membalikkan arah perjalanan peradaban umat manusia.
Proses perubahan terbukti terkonsentrasi hanya pada kurun waktu yang sangat singkat—sebut saja lima tahun pertama abad XX. Akumulasi semua faktor-faktor pada gilirannya berubah menjadi sebuah arus perubahan yang sangat besar dan sulit dibendung lagi. Hindia Belanda telah tiba di suatu masa yang matang.
Tanda-tanda zaman ini ditanggapi secara konstruktif oleh sejumlah putra bangsa, seperti Soerjopranoto, Tirto Adhi Soerjo, dr. Wahidin, Pangeran Ario Notodirodjo. Jawabannya adalah mengusahakan pendidikan yang baik kepada para anak kalangan bumiputera. Pangeran Notodirodjo dari Pakualaman Yogyakarta, sebagai catatan, ialah seorang pangeran yang sangat modern, berpendidikan, dan bekerja keras mengembangkan kesenian dan kerajinan di daerahnya. Ia diusung menjadi ketua perhimpunan yang akan menyelenggarkana dana pendidikan tersebut.
Kesadaran dr. Wahidin, Tirto Adhi Soerjo dan Pangeran Ario Notodirodjo untuk menggalang suatu dana beasiswa bumiputera disokong sepenuhnya oleh Pemerintah Hindia Belanda, sejauh masih dalam koridor politik etis yang berlaku.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR