Jika Anda termasuk warga kota yang tinggal atau bekerja di kota besar, tentu tak aneh melihat kemacetan. Antrean mobil bercampur motor, bus dan kendaraan lainnya mengular hingga beberapa kilometer. Inilah wajah suram lalu-lintas kota besar seperti Jakarta sebagai ibu kota Indonesia.
Lebih buruk lagi, kemacetan kini bisa terjadi tak hanya pada jam-jam sibuk seperti waktu berangkat-pulang sekolah atau kantor, tapi juga terjadi saat hari libur yang mestinya relatif lebih senggang.
Karena begitu seringnya, macet lalu jadi masalah yang dianggap biasa oleh mereka yang sering mengalami. Padahal kemacetan tetap menyimpan aneka masalah yang siap mendera siapa saja. Selain waktu terbuang, risiko lain seperti terjadinya insiden atau bahkan kecelakaan adalah hal-hal yang setiap saat mengintai.
Itu sebabnya Anda perlu menyiasati ancaman kemacetan. Egois.
Deteksi Stres Akibat Macet
Stres adalah hal yang tak dikehendaki siapapun, namun sulit dihindari. "Stres bila ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita," ucap Dr. D. Amidi Sp. JP, FIHA dokter spesialis jantung dan pembuluh darah.
Menurut Dr Amidi, bila stres datang kepada kita maka tubuh akan merespons fight atau flight. Bila Anda melawan (fight) maka hormon adrenalin akan beredar lebih banyak di tubuh sehingga akan ada denyut nadi yang lebih cepat dan tekanan darah akan naik dengan segala akibatnya.
Sedangkan bila flight (mengalah tapi sebetulnya tidak mau) maka hormon Cortison akan lebih banyak beredar dalam tubuh. Akibatnya lambung akan lebih banyak mengeluarkan asam lambung lalu membuat lambung meradang, kadar gula darah naik, serta tulang cepat keropos. Wajah pun mudah keriput dan lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kemacetan parah juga bisa menjadi sumber stres paling efektif. Apalagi jika ditambah faktor luar, misalnya terlambat janji, ditunggu rapat dan sebagainya.
Untuk mengetahui seseorang stres apa tidak, bisa dilihat dari detak jantungnya. Semakin cepat detak jantung, semakin besar pula bahwa seseorang tersebut sedang mengalami stres.
"Indikasinya selain tekanan darah yang meninggi, denyut jantung yang cepat juga menjadi tanda bahwa pikiran sedang mengalami stres," ucap dokter yang praktik di Klinik Plaza, Plaza Indonesia Building Lt. P2, Jakarta itu.
Jika sudah stres, maka bisa dikatakan kemampuan mengemudi jadi berkurang. Misalnya kontrol emosi memburuk sehingga mudah marah atau mengemudi terburu-buru atau agresif sehingga berisiko menyebabkan kecelakaan.
Itu baru dari aspek mengemudi, bukan tak mungkin muncul masalah kesehatan yang lebih serius seperti serangan jantung akibat tekanan darah tinggi dan cepatnya denyut jantung.
Ada beberapa cara yang disarankan oleh Dr Amidi untuk menghindari stres saat berkendara.
1. Pahami masalahnya. Jika Anda tahu rute yang hendak dilalui akan penuh dengan kendaraan, usahakan untuk berangkat lebih awal. Lebih baik bangun sedikit lebih pagi dan mendapat lalu-lintas lancar ketimbang lama di jalan akibat macet. Selain itu, usah segan untuk mencari rute lain yang lebih lancar. Tak masalah sedikit jauh asalkan tak kena macet.
2. Jangan hadapi dengan emosi. Pahami dalam pikiran Anda bahwa tak ada yang bisa dilakukan selain mengikuti antrean. Semakin cepat Anda menyadarinya semakin cepat pula tubuh Anda menerimanya. Pikiran pun secara alami akan terhindar dari sifat agresif seperti menyerobot kendaraan lain atau emosi ketika mobil Anda disalip.
3. Bangun situasi yang nyaman. Jadikan mobil Anda sebagai 'rumah kedua'. Pastikan kabin selalu bersih dan setel musik-musik favorit. Undang mood ceria selama perjalanan.
Indikasi Pengaruh Macet
Untuk membuktikan seberapa besar pengaruh kemacetan terhadap tingkat stres, kami pun melakukan percobaan pada pengemudi yang rutin melewati rute macet. Waktu pun sengaja dipilih pada jam berangkat dan pulang kerja dan di hari kerja.
Karena stres juga bisa ditandai dari cepatnya detak jantung (heart rate), maka faktor itu kami jadikan tolok ukur apakah sang pengemudi sudah menyentuh titik stres.
Subyek adalah Fany Irawan Putri, perempuan karir berumur 30 tahun. Kami menggunakan alat bantu yang dapat mengukur HR secara aktual maupun rata-rata. Pengetesan dilakukan selama seminggu dan mencatat kondisikondisi apa saja yang terjadi dalam pengetesan itu.
Dr D. Amidi berpesan, denyut jantung manusia normal ada di rentang 60-100 bpm (beats per minute). Lebih dari 100 bpm wajar jika sedang berolahraga. Tapi jika sedang berkendara, itu tanda bahwa seseorang mulai merasa tidak nyaman atau bahkan stres.
Dari hasil pengambilan data, terlihat bahwa hampir semua rute diwarnai kemacetan. Dalam kondisi yang membuat tidak rileks, seperti terlambat atau lapar, detak jantung tercepat (peak) bisa melampaui 110 bpm.
Sementara ketika keadaan lalu lintas relatif normal, atau tidak terburu-buru, denyut jantung tercepat tidak sampai 110 bpm. Pun begitu dengan denyut rata-rata di kondisi itu yang tidak sampai 90 bpm.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR