Langit malam ini tanpa bintang. Seakan bermuram akan kepergian kami esok. Sudah 12 hari kami di Wakatobi, menikmati keindahan surga bawah laut dan menyesap peri kehidupan masyarakat Suku Bajo.
Bermula dari Mola, sebuah desa di Pulau Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebuah desa dengan komunitas Suku Bajo terpadat di Wakatobi. Kami menghabiskan empat malam pertama kami disana.
Masyarakat Bajo, yang tinggal di atas laut, menyambut kedatangan kami dengan sukacita. Dengan penuh kehangatan, mereka melibatkan kami dalam aktifitas mereka sehari-hari, sehingga kami dapat melihat langsung kebiasaan dan tradisi mereka.
Tidak sedikit masyarakat Bajo yang datang untuk konsultasi kesehatan dan mendapat pengobatan ringan dari kami. Ternyata mereka jarang mendapat kesempatan untuk memeriksakan kesehatan mereka terkait minimnya fasilitas kesehatan yang ada.
Bagi suku Bajo di Mola, masalah kesehatan dapat diselesaikan dengan mendatangi dukun setempat yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kami pun berkesempatan bertemu dengan dukun tersebut, seorang pria tengah baya dengan perawakan sedang adalah seorang pegawai pemerintahan. Seketika pertanyaan muncul menyergap saya: seseorang yang memiliki peran cukup penting dalam pemerintahan daerah ini adalah juga seorang dukun?
Perbedaan konsep sehat-sakit modern dengan tradisional tentunya menjadi dasar perbedaan penatalaksanaannya. Yang menjadi menarik adalah fakta bahwa yang berperan sebagai dukun di sini adalah seseorang dengan tingkat pendidikan yang cukup baik untuk duduk di jajaran pemerintahan setempat dan memiliki interaksi sosial yang cukup maju. Pasti diskusi ini akan menarik, batin saya.
Sesuai dugaan saya, diskusi kami sangat menarik. Informasi bahwa saya adalah seorang dokter ternyata tidak menyurutkan rasa percaya diri sang dukun saat menceritakan metode pengobatan yang biasa ia lakukan bagi yang membutuhkan. Saya hanya banyak mendengarkan.
Masyarakat Bajo percaya bahwa segala penyakit disebabkan oleh adanya gangguan dari 'saudara' mereka yang ada di laut. Yang dimaksud dengan saudara adalah ari-ari mereka, karena memang masyarakat Bajo memiliki tradisi membuang ari-ari bayi yang baru lahir, yang dianggap saudara dari bayi tersebut, ke laut. Sehingga apabila terjadi penyakit, mereka mengembalikan semua ke laut. Mereka memohon dan memberi sesajen bagi saudara si sakit yang ada di laut untuk menyembuhkan penyakit yang diderita melalui bantuan sang dukun.
Saya tertegun. Kepercayaan diri sang dukun mengusik saya. Setelah berhasil membenahi rasa terusik, saya mulai merefleksikan pengalaman tadi.
Bagi sang dukun, konsep sehat-sakit versi dirinyalah yang ia yakini dan percayai, sebuah konsep yang diturunkan dari generasi-generasi pendahulu. Saya berani bertaruh, porsi keyakinannya sama besar dengan keyakinan saya akan konsep sehat-sakit yang saya pelajari. Tak heran ia begitu yakin dengan metode terapinya.
Hal tersebut membuat saya berpikir, mungkinkah selama ini keyakinan saya dan sejawat saya memancarkan kepercayaan diri yang mengusik bagi mereka yang tidak mempercayainya? Mungkin saja. Lantas apa yang dapat kami usahakan agar masyarakat mempercayai apa yang kami yakini? Cukupkah edukasi kesehatan yang kami berikan selama ini bagi mereka yang belum mengerti sehingga sulit meyakini metode kami?
Upacara Pengobatan di Sampela
Kami meneruskan perjalanan kami ke Sampela, sebuah pemukiman Bajo yang terletak di tengah laut antara Pulau Kaledupa dan Pulau Hoga, kira-kira 4 jam perjalanan dengan kapal kayu bermotor dari pemukiman Mola.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR