Lanskap Subak di Bali yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia menghadapi tantangan, antara lain alih fungi lahan dan minimnya regenerasi petani. Pemerintah diingatkan agar melindungi subak yang berperan penting dalam kebudayaan Bali.
Itulah benang merah sarasehan berjudul Transformasi Kertamasa dalam Pertanian di Bali, yang termasuk rangkaian Pesta Kesenian Bali XX-XVI, di Taman Budaya, Denpasar, Bali, Kamis (3/7).
Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana, Bali, I Wayan Windia, mengatakan subak yang merupakan organisasi tradisional berbasis sosio-kultural, rentan intervensi dari pihak luar, terutama kapitalisme. "Kapitalisme itu bercirikan eksploratif dan eksploitatif," kata Windia. Dia menjadi salah seorang pembicara.
Ratusan hektare lahan sawah di Bali beralih fungsi tiap tahun. (Baca pula: Pesatnya Pariwisata Bali Telah Mengorbankan Pertanian)
Peralihan fungsi lahan sawah juga berdampak rusaknya sistem irigasi pertanian, yang berpengaruh terhadap subak. Alih fungsi lahan menjadi tantangan bagi subak dan krama (anggota) subak.
Mengapa melindungi subak amat perlu? Demikian selintas sejarah untuk mengerti makna subak.
Subak, organisasi pengairan tradisional untuk pertanian, dikenal di Bali sejak abad 11 Masehi. Pada Juni 2012, UNESCO menetapkan lanskap subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Lanskap subak yang termasuk antara lain subak Jatiluwih di Kabupaten Tabanan, yang berada dalam kawasan Catur Angga Batukaru. Jatiluwih yang semakin ramai dikunjungi wisatawan itu menarik minat investor membangun fasilitas pariwisata di sekitar sana.
"Pariwisata menjadi tujuan, sementara warisan budaya terpinggirkan," tutur Pekaseh Subak Jatiluwih I Nyoman Sutama.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR