Bosan menunggu antrean untuk membayar produk yang Anda beli? Seorang mahasiswa Lund university di Swedia menciptakan alat identifikasi biometrik, atau pemrograman komputer untuk mengidentifikasi karakteristik manusia. Namun, hal ciptaan ini bukanlah ciptaan baru. Tapi alat pemindai urat nadi yang diadaptasi sebagai metode pembayaran adalah pertama kalinya.
Tak hanya sidik jari yang berbeda, setiap manusia memiliki susunan pembuluh darah yang unik. Alat pemindai ini menggunakan cahaya infra merah yang menerangi aliran darah melalui tangan, lalu mengidentifikasi pola pembuluh darah.
Transaksi pembayaran ini berlangsung cepat dan sederhana, namun membutuhkan beberapa langkah untuk mengatur sistemnya. Pertama, bank harus melakukan registrasi ke Quixter, kemudian pelanggan harus registrasi untuk menghubungkan pemindaian telapak tangan mereka dan informasi bank. Kemudian restoran dan toko yang ingin menggunakan metode pembayaran baru ini harus menginstal alat pemindai telapak tangan.
Walaupun alatnya tak bisa segera diluncurkan ke pasar, tingkat keamanan alat Quixter menjadi keunggulannya dibanding alat-alat pembayaran kartu kredit, kata Leifland.
"Pola pembuluh darah setiap orang itu unik (berbeda-beda), sehingga tidak ada cara untuk menipunya," kata Leifland. Memenggal tangan pun tidak akan membantu penipuan, karena alat ini mengidentifikasi telapak tangan berdasarkan pemompaan darah melalui pembuluh.
Sistem ini beroperasi sebagai alat transaksi sekali langkah, tetapi metode yang ada saat ini mengharuskan pelanggan untuk memasukkan empat digit terakhir nomor telepon mereka sebelum memindai telapak tangan. Hal ini memberikan kesempatan pada pelanggan untuk melihat jumlah transaksi sekaligus memastikan kebenaran transaksi tersebut.
15 toko dan restoran di sekitar kampus Lund University telah menerapkan sistem pembayaran tersebut. Kabarnya sudah ada 1600 pengguna aktif, kata perwakilan perusahaan tersebut. Walaupun harus melalui berbagai tantangan, Leifland bertekad untuk memperluas Quixter.
Penulis | : | |
Editor | : | Dini |
KOMENTAR