Israel menarik semua personel militernya ke "posisi defensif" di luar Jalur Gaza. Israel dan Hamas Palestina mulai hari Selasa (5/8) pukul 08.00 waktu setempat, melakukan gencatan senjata selama 72 jam.
Meski demikian, dengan Israel mempertahankan penempatan pasukan di posisi defensif, merefleksikan kesiapan melanjutkan pertempuran jika diserang Hamas.
Gencatan senjata itu disepakati atas mediasi Mesir, didukung PBB dan Amerika Serikat.
Mesir berharap gencatan senjata akan diikuti dengan pembicaraan yang bertujuan untuk mengamankan gencatan senjata secara permanen.
Departemen Luar Negeri AS memuji gencata senjata itu dan mendesak kedua pihak "menghormati sepenuhnya". Juru bicara Deplu AS Jen Psaki menambahkan, Washington akan melanjutkan usaha membantu kedua pihak mencapai solusi jangka panjang yang berkelanjutan dan permanen.
Namun, upaya mengabadikan gencatan senjata akan sulit. Pihak masing-masing akan mengajukan persyaratan utama yang menantang, bahkan menolak legitimasi pihak lain.
Gencatan senjata memungkinkan penduduk Gaza keluar, berduyun-duyun kembali ke rumahnya, melakukan survei kerusakan.
Perang tak hanya menelan korban jiwa, melainkan juga kehancuran. Bangunan-bangunan strategis dan vital di Jalur Gaza, termasuk di antaranya rumah sakit, perkantoran, fasilitas-fasilitas umum, juga jaringan listrik yang luluh lantak karena dihantam bom Israel. Sebanyak 400.000 warga terpaksa menjadi tunawisma. Total kerugian ditaksir senilai 6 miliar dollar AS (Rp 70,5 triliun), sebagai perkiraan awal.
Sementara aparat Gaza mengatakan, jumlah korban tewas dalam peperangan terburuk dalam dua tahun itu mencapai 1.865 warga sipil. Di pihak Israel, 64 tentara dan tiga warga sipil tewas.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR