Oktober 2004 di Flores, Indonesia ditemukan sisa kerangka yang belum diketahui manusia atau bukan, diperkirakan hidup antara 95.000 hingga 17.000 tahun lalu. Sisa kerangka itu diberi nama Homo floresiensis, diberi julukan ‘hobbit’ karena ukuran tubuhnya yang lebih kecil dari manusia.
Tinggi tubuhnya sekitar tiga kaki atau sekitar satu meter dengan berat 77 pon (30-35 kilogram). Manusia purba dengan sebutan ‘hobbit’ ini memiliki otak dengan ukuran lebih kecil, gigi yang besar, bahu condong ke depan, tidak mempunyai dagu, serta telapak kaki yang besar dengan kaki pendek.
Para ilmuwan memperdebatkan apakah ‘hobbit’ ini termasuk dalam pohon keluarga manusia yang sudah punah, atau merupakan cabang dari Homo erectus.
Temuan yang dimuat di Proceedings of the National Academy of Science oleh sebuah tim peneliti internasional menjelaskan, bahwa terdapat spesimen tunggal yang dikenal sebagai LB1 atau Liang Bua. Liang Bua merupakan sebuah gua tempat ditemukannya Homo floresiensis, belum ada penemuan terbaru sejak pertama kali ditemukan tahun 2003.
“Sampel kerangka dari Gua Liang Bua berisi potong-potongan jasad dari beberapa orang,” kata profesor perkembangan dan evolusi genetika di Penn State University, Robert Eckhardt.
LB1 mempunyai tengorak dan tulang paha sebagai sampel. ‘Hobbit’ LB1 pertama kali diindikasi karena ketidakcocokan tengkorak dan asimetri kraniofasial yang menjadi karakteristik dari Sindrom Down.
Sebenarnya peneliti sudah menemukan asimetri ini sejak 2006, namun tidak ditindaklanjuti dengan alasan tengkorak sudah lama terkubur.
Awalnya Homo floresiensis LB1 memiliki karakteristik yang tidak biasa, yakni volume tengkorak berukuran hanya 380 milimeter. Temuan itu menunjukkan bahwa ukuran otak Homo floresiensis hanya sepertiga rata-rata otak manusia modern. Tulang paha ‘hobbit’ ini juga menggambarkan tingginya hanya sekitar tiga kaki setara satu meter.
Namun dalam penelitian lainnya dalam konteks klinis dikatakan adanya perbedaan. Penelitian ini mengatakan bahwa angka asl dari volume otak dan perawakannya tidak bisa diremehkan, walau berukuran lebih kecil. Ditemukan selanjutnya bahwa volume otak sekitar 430 milimeter.
“Perbedaan yang signifikan ini diperkirakan adalah manusia modern dengan Sindrom Down dari wilayah setempat,” papar Dr. Eckhardt. Perkiraan tinggi ‘hobbit’ yang hanya mencapai satu meter ini, menurut Dr. Eckhardt, sesuai dengan manusia Sindrom Down.
Pertama kali Dr. Eckhardt dan peneliti lain menemukan kerangka ini, mereka melihat adanya gangguan perkembangan. Walau mereka tidak dapat langsung yakin karena saat itu kerangka masih terpisah-pisah. Barulah setelah bertahun-tahun terbukti bahwa ‘hobbit’ itu mengalami DS.
“Dari tanda-tanda yang ditemukan dari Homo floresiensis LB1 agak jelas menunjukkan Sindrom Down. Yang hanya terjadi pada sati dari seribu kelahiran manusia di seluruh dunia,” tegas Dr. Eckhardt.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR