Ibarat saling bertegur-sapa, zaman dahulu, sesama orang Betawi beradu kemampun silat. Antar kampung, antar daerah, bertemu dimanapun mereka akan beradu silat. Bagaimana dengan sekarang?
"Saat ini tidak ada cinta budaya," kata M. Mohammad Sanusi, seorang tokoh silat berumur 84 tahun. Dalam acara Diskusi dan Pementasan SILATurahmi: Maen Pukulan Betawi Dulu, Maen Pukulan Betawi Kini pada Jumat (15/8) sore di Bentara Budaya Jakarta, pria yang akrab dipanggil Bang Uci ini berpendapat bahwa zaman sekarang budaya Betawi harus dinaikkan. Ia pun mengusulkan audiovisual sebagai solusi.
"Kalau silat hanya dipentaskan di hari-hari besar saja, tidak akan membekas," katanya. Walaupun ada perguruan silat, tetap belum cukup karena hanya orang yang tergabung dalam perguruan tersebut yang mengerti benar akan pentingnya pelestarian silat di Indonesia. Bang Uci ingin seluruh masyarakat Indonesia terutama orang Betawi untuk melestarikannya bersama, bukan hanya anggota perguruan silat saja.
Menurut sejarawan Ali Anwar, audio visual penting karena mengajarkan audiens tanpa menggurui, dan bahan yang ditampilkan pun harus berdasarkan sebuah kajian. Misalnya, mempertontonkan film mengenai silat.
Ekstrakurikuler
Salah satu sekolah di Jakarta yang memberlakukan ekskul silat adalah SMP Negeri 1. Ekskul dinilai oleh Ali Anwar bagus sebagai upaya melestarikan budaya asal Betawi ini.
"Tinggal bagaimana nantinya ekskul ini membuat anak-anak happy. Tentu harus ditanamkan nilai-nilai pentingnya silat," katanya. Dalam hal ini, penting bagi para pengajar untuk menekankan bahwa silat dipelajari bukan untuk memanfaatkannya dalam berkelahi.
Bang Zen Hae, selaku moderator dalam acara ini, menambahkan mengenai silat dijadikan ekskul, "Secara tingkat kota, belum ada kebijakan begitu selain pramuka. Jadi, tergantung pada perguruan silat apa bisa mendekatkan diri ke sekolah."
Penelitian
Karena berkaitan dengan sejarah, perlu dilakukan himpunan data, bisa dari data tertulis maupun lisan. Namun, data tertulis mengenai silat tidak banyak. "Kalau bisa perguruan-perguruan silat saat ini membuat catatan masing-masing mengenai silat dari 10 tahun yang lalu sampai sekarang," kata Ali Anwar. "Bayangkan jika ada 80 perguruan silat di Jakarta membuat catatan sebanyak lima halaman per perguruan. Jika digabungkan semua, sudah ada 400 halaman."
Dan 400 halaman ini pun cukup sebagai data untuk penelitian-penelitian mengenai silat berikutnya yang akan dilakukan. Di zaman modern ini, teknologi seharusnya berperan dalam pelestarian budaya. "Wawancara dengan tokoh atau ahli silat itu harus. Dan data ini bisa digunakan untuk audiovisual."
Penulis | : | |
Editor | : | Dini |
KOMENTAR