Skola Lipu berarti Sekolah Kampung. Adalah Yayasan Merah Putih (YMP) yang memperkenalkan model pendidikan alternatif ini bagi komunitas adat Tau Taa Wana yang hidup di belantara hutan Sulawesi Tengah sejak 2005. Komunitas ini tersebar di Kabupaten Tojo Una-una, Banggai, dan Morowali. Yang paling dekat yang berada di Kabupaten Tojo Una-una, itu juga harus naik ojek sekitar dua jam.
Manajer Lapangan YMP wilayah Kabupaten Tojo Una-una, Badri Djawara, menceritakan hadirnya sekolah ini di Tojo Una-una. Berangkat dari diskusi panjang YMP dengan masyarakat Tau Taa Wana di Banua Bale yaitu rumah besar -beratap rumbia, berlantai bambu, yang bagian samping dan depan dindingnya tertutup setengah- maka terwujudlah sekolah ini.
Ketika itu, perwakilan dari sembilan lipu bermusyawarah (mogombo) di Banua Bale membahas segala persoalan yang dialami komunitasnya. YMP hadir sebagai fasilitator dan mendokumentasikan kegiatan. Dalam diskusi itu diketahui, mereka kesulitan mengakses layanan sosial, ekonomi dan politik dari pemerintah setempat karena tempat tinggal mereka yang terpencil.
"Tidak ada program layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan ekonomi, yang menjangkau lipu-lipu yang berada di hilir Sungai Bulang. Ini karena kondisi jalan yang sulit dan berbukit," kata Badri.
Selain faktor geografis, masalah lainnya adalah mereka sering dibohongi. "Jika turun ke kota menjual hasil bumi, mereka kerap merugi karena tidak paham hitung-menghitung," jelasnya.
Memang, akhir 1990-an pemerintah telah membangun Sekolah Dasar Desa Bulan Jaya, desa transmigrasi dekat Lipu Mpoa di Tojo Una-una, untuk memenuhi pendidikan anak-anak transmigran dan anak-anak komunitas Tau Taa Wana.
Namun, komunitas adat ini enggan menyekolahkan anaknya. Bukan karena tidak menginginkan pendidikan, tapi karena sekolahnya yang sulit dijangkau. Dibutuhkan waktu dua jam berjalan kaki tanpa infrastruktur jalan yang memadai. Para orang tua khawatir, bila anaknya harus berjalan kaki menelusuri bukit dan sungai setiap hari menuju sekolah.
Permasalahan ini ternyata belum usai, saat tiba di sekolah pun, anak-anak Taa Wana mengalami kesulitan beradaptasi. Yang paling terasa adalah, mereka kesulitan memakai sepatu, seragam sekolah, serta dasi. Hal yang tidak biasa mereka kenakan.
Hal lainnya adalah masyarakat Tau Taa Wana masih berladang jauh sehingga harus menetap tiga bulan saat musim tanam (momuya) dan dua bulan saat musim panen (momota).
Akhirnya, rekomendasi dari musyawarah tersebut adalah mereka menginginkan model pendidikan yang fleksibel sesuai potensi dan karakteristik lingkungannya. Dari latar ini, YMP membuat Skola Lipu sebagai pendidikan alternatif yang informal, tanpa gedung khusus, tenaga guru tidak berijazah, serta murid yang tidak berseragam.
Awalnya, proses belajar ini mendapat tanggapan beragam. Ada yang menilai positif sebagai kegiatan pendidikan namun ada juga yang mencurigai karena dinilai ilegal dan menyalahi kebiasaan dunia pendidikan. "Tidak hanya dari masyarakat awam, tetapi juga dari pemerintah daerah yang mengurusi pendidikan," ujar Badri.
Namun, pengiat YMP tidak peduli. Diskusi dan sosialisasi terus dilakukan mulai dari desa, kecamatan, hingga kabupaten. Berbagai seminar juga dilakukan dalam kurun waktu 2006-2010 dengan melibatkan praktisi pendidikan, akademisi, dan pemerintah. Di tingkat komunitas, Tau Taa Wana sebagai pelaksana Skola Lipu melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan untuk memperkuat kapasitas masyarakat khususnya guru.
!break!Pertengahan Juli 2009, YMP selaku penanggung jawab Skola Lipu mendapat undangan dengar pendapat dari DPRD Tojo Una-una. Agendanya membahas Skola Lipu. Rapat dipimpin oleh Mohammad Afnan Rahmad, dan dihadiri oleh Bupati Tojo Una-una Damsik Ladjalani beserta Dinas Pendidikan Touna. Setelah mendapat penjelasan, Damsik Ladjalani paham dan berjanji akan memperhatikan masyarakat adat Tau Taa Wana terlebih Skola Lipu.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR