Pada 2010, Damsik Ladjalani menyepakati penyelenggaraan Skola Lipu yang termuat dalam Nota Kesepahaman Nomor: 4219/254/PERLUM dan Nomor: 003/MOUKA-YMP/V/ 2010 tentang penyelenggaraan Sklola Lipu sebagai satuan pendidikan layanan khusus dengan jalur informal pada masyarakat Tau Taa Wana. Kemudian, tanggal 18 Juli 2011 Bupati menandatangani Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2011 tentang pengakuan dan perlindungan penyelenggaraan Skola Lipu pada masyarakat hukum adat Tau Taa Wana.
Garis besar Perbup 13 ini adalah, Skola Lipu tidak sekadar memenuhi kewajiban baca, tulis, dan hitung pada anak didik. Tapi, sebagai pendidikan berbasis komunitas pada masyarakat hukum adat Tau Taa Wana guna mengembangkan kemandirian komunitas dengan mengembangkan nilai budaya, kearifan lokal, adat istiadat, dan pelestarian lingkungan.
"Secara teknis, kurikulum dan silabus Skola Lipu disusun bersama Dinas Pendidikan Kabupaten Tojo Una-una. Kurikulum direvisi guna penyesuaian dengan Peraturan Bupati yang melibatkan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Tadulako MHR. Tampubolon," terang Badri
Hingga saat ini, kata Badri, sudah ada sembilan Skola Lipu yang dikembangkan di daerah Sungai Bulang masing-masing di Lipu Mpoa, Ueveau, Salumangge, Kablenga, Vatutana, Lengkasa, Bone Paratambung, Sikoi, Ratovoli. Total muridnya saat ini adalah 150 siswa.
Sungai Bulang adalah salah satu aliran sungai yang panjangnya sekitar 42,17 km dengan lebar antara 30-60 m. Secara administratif, masuk dalam tiga kabupaten yaitu Tojo Una-una, Morowali, dan Banggai.
Sejak hadirnya Skola Lipu, sebagian besar anggota komunitas Tau Taa Wana sudah dapat membaca dan menulis. Proses belajarnya juga unik. Kadang dilakukan di kolong rumah ladang, di halaman rumah, tak jarang di sela menumbuk padi. Peserta belajar dapat menjadi guru bagi teman belajarnya. Bagi mereka setiap tempat adalah ruang belajar.
Menurut Badri, sedikitnya ada dua staf YMP yang mendampingi kegiatan pendidikan alternatif ini. Mereka berada di lapangan dua hingga tiga bulan. Materi pelajaran ada yang bersifat umum seperti baca, tulis, hitung, serta Bahasa Indonesia, dan matematika. Ada juga pelajaran lingkungan, organisasi, dan eksplorasi kearifan lokal. "Bagi yang berusia 15 tahun ke atas akan diajarkan tentang hukum, lingkungan, hutan, dan tanah," jelasnya.
Karakteristik sosial
Azmi Siradjudin, Koordinator Program Hutan dan Iklim Yayasan Merah Putih, menambahkan jika dilihat dari karakteristik sosialnya Tau Taa Wana atau dikenal dengan To Wana, dikategorikan sebagai "Masyarakat Adat".
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah Undang-undang disebut sebagai "Masyarakat Hukum Adat" tetapi Kementerian Sosial lebih senang menamakannya "Komunitas Adat Terpencil" (KAT). Yaitu, kelompok sosial budaya yang besifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik.
Menurut Azmi, apapun istilah yang di pakai, yang pasti karakteristik sosial yang digambarkan oleh seluruh pengguna istilah tersebut, menandai komunitas Tau Taa Wana ini. Meski, pola interaksinya mulai cenderung terbuka. "Tapi, umumnya komunitas adat Tau Taa berbentuk komunitas kecil, homogen, dengan pranata sosial yang bertumpu pada lembaga kekerabatan," terangnya.
Saat ini, sekitar 3.000-an kepala keluarga tersebar di 23 lokasi dalam wilayah Kecamatan Ampana Tete dan Ulubongka, Kabupaten Tojo Una-una, serta Kecamatan Bungku Utara dan Mamosalato, Kabupaten Morowali. Dari jumlah itu, sebanyak 1.161 kepala keluarga sudah tersentuh program pemberdayaan, selebihnya belum.
Mereka terbiasa hidup harmoni dengan alam. Kepada alam mereka bersikap ramah, tidak merusaknya. Filosofi mereka, gunung adalah badan atau kehidupan sementara sungai adalah jiwa. "Mereka tidak ingin merusak hutan dan sungai karena akan merusak badan dan jiwa mereka," pungkas Azmi.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR