Para ahli percaya mumi itu ditampilkan di tempat terbuka selama 200 tahun sebelum terbungkus dalam patung pada abad ke-14.
“Kami menduga bahwa selama 200 tahun pertama, mumi itu diekspos dan disembah di sebuah kuil Buddha di Tiongkok, hanya pada abad ke-14 mereka melakukan semua pekerjaan untuk mengubahnya menjadi patung yang bagus," kata van Vilsteren.
Para ahli meyakini bahwa Liuquan telah melakukan mumifikasi diri untuk mempersiapkan kehidupan setelah kematian, yakni menjadi "Buddha abadi". Mumifikasi diri merupakan proses melelahkan yang mengharuskan seorang biarawan untuk mengikuti diet ketat dengan kacang-kacangan dan biji-bijian selama 1.000 hari untuk menghilangkan lemak tubuh.
Bukan hanya itu, mumifikasi diri ini diikuti diet dengan kulit kayu dan akar selama 1.000 hari. Pada akhir periode, biksu mulai meminum teh beracun yang terbuat dari getah pohon pernis Jepang, yang biasanya digunakan untuk mengecat mangkuk dan piring.
Baca Juga: Ahwang, Biksu Paling Penyendiri Sejagad di Kuil Tengah Danau Tibet
Teh menyebabkan muntah yang banyak serta kehilangan cairan tubuh dengan cepat, sehingga membuat tubuh terlalu beracun untuk dimakan oleh bakteri dan serangga. Sebuah kerangka hidup, biarawan itu kemudian ditempatkan di sebuah makam batu hampir tidak lebih besar dari tubuhnya, yang dilengkapi dengan tabung udara dan bel.
Tidak pernah beranjak dari posisi meditasi, biksu itu akan membunyikan bel setiap hari untuk memberi tahu orang-orang di luar bahwa dia masih hidup.
Ketika bel berhenti berdering, biksu itu dianggap mati, tabung udara dilepas dan makam disegel. Setelah 1.000 hari lagi, makam itu akan dibuka untuk memeriksa apakah biksu itu telah berhasil dimumikan.
Dari ratusan biksu yang mencoba proses mengerikan ini, hanya beberapa yang benar-benar menjadi mumi dan dihormati di kuil sebagai Buddha. Sebagai informasi, proses kuno ini memang dikenal di Jepang, Thailand, Tiongkok. Para peneliti tidak yakin kapan atau bagaimana organ biarawan ini diambil.
Source | : | CNN,Histecho.com |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR