Di negeri ini, penggunaan pestisida di kalangan para petani seolah menjadi suatu kebiasaan. Bahkan mereka tak lagi peduli apakah di lahan penanaman tersebut ada hama, atau tidak. Hal inilah yang diungkapkan oleh Ahmad Sulaeman, dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB.
Menurut Guru Besar Keamanan Pangan Dan Gizi ini, bisa jadi ada lima jenis pestisida yang ada pada buah atau sayur yang Anda beli di pasar. Bahan kimia ini terus diberikan saat sayur atau buah tumbuh, bahkan mulai dari pembungaan hingga buah yang dihasilkan sudah bisa dipetik.
Di kalangan masyarakat, sudah menjadi suatu hal yang umum bahwa saat memilih produk yang dianggap bebas pestisida, seseorang harus memilih sayuran yang memiliki lubang-lubang di permukannya. Anggapannya, serangga saja mau makan sayur tersebut. Berarti sayur itu bebas pestisida. Benarkah demikan?
“Itu keliru!” ujar Ahmad. “Justru belum menjamin, jika ada lubang-lubang maka sayur tersebut pasti organik. Justru lubang-lubang itu kemungkinan ada, karena petaninya terlambat menyemprot.” Bahkan menurutnya, bisa saja tampilan sayuran yang ditanam tanpa menggunakan bahan kimia atau disebut organik ini, memiliki tampilan yang lebih bagus dibandingkan dengan sayuran yang berpestisida.
Jadi, bagaimana agar konsumen yakin bahwa sayur yang dibelinya adalah produk hasil pengolahan secara organik atau tak tersentuh bahan kimia? Ahmad menyarankan agar konsumen teliti melihat label organik yang tercantum pada kemasan sayur, atau, “metode lain untuk melihat sayuran itu organik atau bukan, adalah kita tahu petaninya,” ujarnya.
Artinya, konsumen tahu seperti apa perkebunan yang dimiliki sang petani, bagaimana cara penanaman mereka dilakukan, dan pupuk apa yang digunakan. “Dengan demikian, tak perlu ada label,” lanjut Ahmad. Di satu sisi, ada anggapan bahwa harga sayuran organik, tinggi. Padahal, sayuran tanpa sentuhan bahan kimia ini bisa jadi berharga amat murah. Bagaimana cara mendapatkannya? Simak jawabannya dalam Kontradiksi Pangan Organik.
Penulis | : | |
Editor | : | Yoga Hastyadi Widiartanto |
KOMENTAR