Dunia seakan-akan "dibutakan" dengan migas. Dianggap sektor yang paling dibutuhkan untuk menjalankan ekonomi, negara-negara pun lantas melanjutkan penjelajahan sumber baru minyak dan gas bumi sampai ke tempat yang sulit dijangkau seperti Arktik.
Saat ini, sekitar 10 persen dari produksi minyak dunia dan seperempat dari gas alam dipasok dari Arktik, yang suhunya sudah mengalami kenaikan 2o celcius semenjak pertengahan 1960.
Perusahaan Royal Dutch Shell, contohnya —meski mengalami banyak kemunduran dalam beberapa tahun terakhir— sudah mengumumkan Agustus lalu, pihaknya menyerahkan pada Pemerintah AS rancangan melakukan pengeboran minyak lepas pantai Alaska kembali pada musim panas tahun 2015.
Padahal, ketimbang mencari cara-cara baru mengeruk minyak bumi, seharusnya kita memusatkan perhatian dan tenaga ke sumber-sumber energi terbarukan.
Negara-negara perbatasan Samudera Arktik kini saling berebut klaim untuk perluasan wilayah hak-hak mereka di luar Zona Ekonomi Eksklusif (200 mil), dalam mengantisipasi prospek masa depan minyak dan gas.
Menurut perkiraan saat ini AS memiliki sumber minyak terbesar di Arktik, baik yang berada di darat maupun lepas pantai. Rusia berada di urutan kedua teratas, namun negara ini juga paling unggul dalam hal gas alam. Norwegia dan Greenland sama-sama ada di urutan ketiga untuk gabungan sumber daya minyak dan gas. Berikutnya adalah Kanada, dengan pembagian hampir sama untuk minyak dan gas alam.
Dalam mengembangkan eksplorasi, Rusia terbilang memimpin. Produksi di hampir 43 ladang minyak dan gas alam besar telah berjalan sejak (awalnya pada Desember 2013) ditemukan di kawasan Arktik Rusia—baik yang di daratan maupun lepas pantai.
Norwegia merupakan negara yang satu pertiga pendapatan negaranya berasal dari industri migas, dan mereka juga saat ini memiliki fasilitas gas alam cair di wilayah utara Lingkaran Arktika, yang dioperasikan oleh Statoil di Laut Barents.
Kanada memulai eksplorasi di kawasan itu pada tahun 1970-an dan 1980-an, namun dihentikan pada 1990-an. Sejak saat itu hanya satu tempat penambangan yang dibuka di lautan, tetapi sekitar tahun 2005-06, itu pun kemudian ditinggalkan.
Eksplorasi minyak di kawasan Kutub Utara nyatanya merupakan investasi yang buruk. Sebab selain sulitnya membangun infrastruktur, eksplorasi juga mengancam lingkungan di sana. Masalah pemanasan regional yang mengakibatkan pencairan es tentu bisa membahayakan pula. Banyak infrastruktur darat dibangun di atas es, yang dapat berubah seketika—mencair akibat pemanasan. Risikonya terlalu besar.
Pada awal 2014, pengadilan federal menyatakan Pemerintah AS telah membuat kesalahan fundamental ketika memperhitungkan dampak lingkungan dari pembangunan minyak dan gas di Kutub Utara. Kasus ini sempat menghentikan sementara aktivitas.
Mengapa mengambil risiko-risiko tersebut, untuk mengejar bahan bakar kotor ini, jika sebetulnya ada alternatif transportasi?
Kita dapat menggunakan moda transportasi massal yang cepat dan lebih hemat energi daripada mobil pribadi. Ditambah inovasi kendaraan listrik mulai bermunculan. Serta, aktif berupaya mendorong orang memakai sepeda dengan didukung jalur sepeda yang baik dan menawarkan program bike-sharing.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR