PADA 19-20 September lalu diadakan Simposium Internasional Filsafat Indonesia: "Mencari Sosok Filsafat Indonesia".
Sebuah peristiwa yang teramat penting, khususnya bagi sejarah filsafat di Indonesia dan tentu saja diharapkan bisa memberikan kontribusi besar bagi kemajuan kebudayaan dan pendidikan secara umum. Tema "Mencari Sosok Filsafat Indonesia" langsung menggelitik!
Kata \'mencari\' dalam filsafat memiliki arti khusus, yakni energi dasar yang membuatnya bergeliat hidup. Adapun istilah \'sosok\' dan \'filsafat Indonesia\' bisa dibaca sebagai dua istilah yang merangsang masalah; \'sosok\' mengacu pada manusia-personal dan \'filsafat Indonesia\' sebagai sebuah frase yang mengacu pada sistem produk konvensi yang nonpersonal. Bagaimana kedua istilah ini bisa berpadu?
Apakah Indonesia belum punya sistem filsafat dalam pengertian tunggal-akademis? Belum memiliki argumen-argumen dasar bagi berdirinya sebuah sistem pemikiran selayaknya filsafat sistematik dengan pilar-pilarnya seperti "ontologi/metafisika", "epistemologi", dan "aksiologi"? Tema "Mencari Sosok Filsafat Indonesia" tak lain bertujuan menjawab pertanyaan di atas.
Filsafat sistematik-akademis jelas bukan produk bangsa kita. Bahkan, sebagai bangsa pun kita masih asing dengan sebutan filsafat sistematik-akademis itu. Kita hanya dekat dengan turunannya bernama ilmu pengetahuan. Tak akan terdengar demikian signifikannya oleh bangsa ini bahwa sebuah negara bangkit jadi besar karena filsafatnya.
!break!Sejarah filsafat
Filsafat sistematik-akademik adalah produk bangsa Yunani Kuno. Model atau paradigma institusinya, perguruan tinggi, didirikan Plato lalu diikuti muridnya, Aristoteles (Academy dan Lyceum). Tak pelak, siapa pun yang mempelajari filsafat menjadi suatu keniscayaan haruslah terlebih dulu mempelajari filsafat Yunani Kuno. Sebab, dari sanalah fondasi filsafat sistematik itu kita peroleh.
Apakah dengan demikian apabila kita mempelajari filsafat maka artinya kita hanya mengikuti filsafat Yunani Kuno? Jelas tidak! Filsafat merupakan disiplin berpikir yang sangat terbuka dan terutama bertolak dari soal-soal keseharian dari mana kita berada. Berpikir terbuka mengisyaratkan melihat ke berbagai arah, seluas-luasnya, dengan kemungkinan berhenti sejenak pada horizon tertentu, lalu bergerak lagi. Berpikir terbuka adalah pengembaraan yang sangat menantang, indah, dan abadi.
Filsafat tidaklah muncul dalam ruang tunggal dan monoton. Awal munculnya Filsafat Yunani Kuno bernapaskan pertemuan berbagai kebudayaan atau transgeografi. Sejarah filsafat Yunani biasanya dibagi tiga periode: pra-Sokrates, Sokrates, dan post-Sokrates. Para filsuf pra-Sokrates, pendiri, seperti Pherecydes, Anaximandros, Anaximenes, dan Pythagoras membangun filsafat dari berbagai pengaruh dalam perjalanan intelektual mereka. Kosmologi, teologi, sistem angka dan hitungan dalam filsafat pra-Sokrates itu bersinggungan erat dengan konsepsi yang ada di alam pikiran bangsa India dan Persia, misalnya.
Filsafat pada awalnya sudah menunjukkan model berpikir sinkretisme. Kesadaran akan realitas pun terbentang luas dan jelas antara kesadaran akan "yang satu" dan "yang banyak". Filsuf pra-Sokrates, Empedokles, menekankan dasar realitas adalah banyak (plural) terdiri dari air, udara, api, dan sebagainya. Pluralisme dalam filsafat sesungguhnya bukanlah \'barang\' baru.
Semangat sinkretisme antar- kosmologi yang berbeda dan konsepsi pluralisme yang bertujuan mencari akar (radix) realitas terus berlangsung hingga kini. Filsafat Yunani Kuno diinterpretasi oleh para pemikir sesuai kondisi kosmologis dari mana mereka hidup. Muncul kemudian dengan label besar seperti filsafat Jerman, Inggris, Perancis, Amerika, dan Spanyol tak lepas dari sejarah awal sinkretisme dan pluralisme filsafat Yunani Kuno tersebut. Pada puncaknya terbagilah demarkasi filsafat Barat dan filsafat Timur dengan kekhasannya masing-masing. Keduanya terus berkelindan tanpa pertentangan substansial yang serius. Dalam banyak pemikiran filsuf Barat kita bisa temukan pengaruh kebijakan Timur, juga sebaliknya.
!break!Merawat pluralisme
Filsafat muncul dari pertanyaan dan percakapan dengan realitas, peristiwa keseharian, ritual, mitologi, sastra, dan lain-lain. Setiap negara dan bangsa memiliki latar belakang atau infrastruktur seperti itu.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR