Joko Widodo, presiden pertama Indonesia yang tidak memiliki kaitan dengan rezim Soeharto, dilantik Senin (20/10). Namun, Jokowi menghadapi tantangan berat untuk memberlakukan agenda reformasi yang tegas.
Ketakutan meningkat bahwa parlemen dengan sikap permusuhan yang didominasi oposisi, dan statusnya sebagai pemain baru dalam perpolitikan nasional, mungkin dapat membuatnya mustahil mendorong reformasi untuk membangkitkan ekonomi dan membantu rakyat miskin.
Para analis mengatakan euforia pelantikan sepertinya akan cepat berakhir, karena Jokowi menghadapi tugas berat karena negara sedang berada pada kondisi kritis.
Pertumbuhan ekonomi ada di titik terendah dalam lima tahun terakhir, korupsi tetap marak, dan ketakutan meningkat bahwa dukungan terhadap kelompok militan Negara Islam (ISIS) dapat melahirkan generasi baru radikal di Indonesia.
Jokowi telah mengungkapkan agenda reformasi yang ambisius untuk mengatasi berbagai permasalahan negara, tapi ada kekhawatiran bahwa parlemen yang terbagi-bagi dapat menghambatnya.
Namun kehadiran mantan pesaing Jokowi dalam pemilihan presiden yang lalu, Prabowo Subianto, dalam pelantikan presiden, menjadi tanda kedua mencairnya ketegangan politik setelah Jokowi tanpa diduga menemuinya Jumat untuk pertama kalinya sejak pemilu. Pada kesempatan itu, Prabowo juga menyatakan dukungan kepada pemerintahan Jokowi.
Para analis mengingatkan terlalu awal bahwa rekonsiliasi akan berlangsung lama atau membantu Jokowi.
Ujian pertama Jokowi adalah menurunkan subsidi bahan bakar yang sangat besar dan memakan sekitar seperlima anggaran negara, sebuah langkah yang menurut para ekonom sangat diperlukan namun berisiko memicu demonstrasi besar.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR