“Jam berkunjung sudah selesai pukul dua ini, besok pagi kembali lagi saja jika ingin beribadah,” ujar Fernando Lopez yang botak dan berbadan gempal.
Saya hanya termangu menyaksikan asap mengepul dari separuh setanggi ladan yang ditancapkan dalam bokor kuningan bermotif sepasang naga yang berhadapan. Pintu rumah ibadah berarsitektur Eropa itu memang tertutup rapat.
“Ini hari terakhir saya di Dili, Om,” pinta saya. “Apakah boleh saya berfoto di halaman?”
“Masuklah, lihat ke dalam juga boleh,” ujar Fernando sambil tersenyum.
Kemudian dia membuka pintu gerbang. Lelaki berusia 60 tahun itu merupakan penjaga Klenteng Kuan Kong di Dili, Timor Leste. Sudah dua dekade ini dia menjaga rumah ibadah tersebut. Walaupun bukan etnis Cina, Fernando mengaku dekat dengan para umat yang berkunjung ke klenteng tersebut.
Klenteng Kuan Kong bergaya arsitektur Eropa lengkap dengan air mancurnya—fontana—pada pelataran depannya. Ruang utamanya diduduki oleh Dewa Kuan Kong si Dewa Perang. Meja altar persembahan tampak dipenuhi sesajen berupa makanan, minuman dan buah-buahan. Kuan Kong tak sendiri, ia ditemani oleh patung Dewi Kuan Im (Guan Yin) yang berdiri anggun di bilik sayap samping klenteng.
Sebuah marmer bertuliskan sejarah klenteng tertempel di tembok pintu utama. Bangunan ini berdiri pada 1936 dan dibangun kembali oleh Wu Ming De pada 1990, demikian isi ringkasnya.
Klenteng pernah hancur oleh aktifitas militer kala perseteruan saudara di Dili pada 1975, demikian Fernando menuturkan kepada saya. Kemudian klenteng kembali dirusak oleh aksi massa dalam kerusuhan politik pada 1999. Segera setelah perusakan tersebut, ungkap Fernando, klenteng dibangun kembali dan berdiri hingga sekarang.
Klenteng Kuan Kong memiliki dewa utama Guang Di atau sering dikenal dengan Kuan Kong, merujuk nama seorang jenderal yang hidup pada 160-219 pada masa akhir Dinasti Han (206 SM – 220 M). Karena jasa besar dan keberaniannya melayani Liu Bei, sang pendiri Dinasti Shu Han, dia pun mulai dipuja sejak masa Dinasti Sui sampai sekarang oleh masyarakat Tiongkok di daerah selatan Tiongkok, Taiwan, Hong Kong, dan berbagai diasporanya.
Klenteng pernah hancur oleh aktifitas militer kala perseteruan saudara di Dili pada 1975 dan kembali dirusak oleh aksi massa dalam kerusuhan politik pada 1999.
Kuan Kong menjadi figur utama dalam sistem religi Cina dan menjadi populer dalam Konfusianisme, Budhisme dan Taoisme. Sebagai Dewa Perang, Kuan Kong dipuja bukan untuk memberi berkah kepada prajurit yang berperang, melainkan menjadi simbol persaudaraan dan kebenaran. Bahkan, Kuan Kong pun ramai dipuja oleh perkumpulan rahasia, semacam triad dan mafia.
Pedagang-pedagang Cina dari Makau dan Hong Kong telah menginjakkan kaki mereka di tanah Timor sejak masa Dinasti Song (960 – 1279) untuk membawa cendana dari Timor ke pasar internasional pada masa itu. Dari sekian cendana yang dihasilkan di Asia Tenggara, cendana tanah Timor menjadi idola para pengguna di India dan Tiongkok. Pulau Timor pun masih menyimpan misteri kisah pendaratan pedagang Cina yang kemudian kawin-mawin dengan putri-putri raja Timor. Tinggalan budayanya tak terlihat kasat mata, namun terasa memberi warna pada budaya lokal masyarakat Timor.
“Saya bukan orang Cina, namun saya senang berada di sini,” ujar Fernando. Baginya, setiap hari menyaksikan manusia beribadah merupakan sesuatu yang menenteramkan hati. “Orang Cina Timor sudah lama di ada di sini.” Sembari terkekeh dia berkata, “Banyak yang kulitnya sudah hitam dan matanya sudah besar.”
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR