Kalau mau tahu suatu negara itu aman atau tidak, lihat saja jumlah wisatawan yang datang. Kalau ramai oleh turis maka negara itu bisa dikatakan aman. Aman bukan hanya untuk dijelajahi tetapi juga untuk investasi. Investasi berarti uang akan datang.
Ingin tahu juga apakah pemerintahan suatu negara itu bekerja melayani rakyatnya atau tidak? Perhatikan saja, apakah informasi dan petunjuk sarana prasarananya mudah dipahami atau tidak. Kalau petunjuk keluar bandara saja tidak jelas, lantas bagaimana masuk ke daerah pedalamannya?
Jadi urusan pariwisata bukanlah tempat kementerian asal–asal yang menjadi objek transaksi politik.
Pariwisata serupa dengan Kementerian Luar Negeri yang bergengsi itu yaitu sebagai wajah bangsa Indonesia di mata dunia. Mau dipoles bak perempuan seksi cantik? Ataukah dibiarkan sebagai mobil mewah yang hanya parkir saja di garasi rumah?
Modal utama pariwisata adalah sumber daya alamnya, tapi akan tanpa arti bila tanpa kelola yang baik.
Namanya pariwisata identik dengan jualan. Penjual harus bisa mengemas dengan apik agar menarik dan dibeli orang. Permen jahe di pasar tradisional yang dijual dalam ember plastik hanya laku Rp 1.000 – Rp 2.000. Coba dibungkus dalam plastik berpita. Taruh dalam toples cantik di kafe. Harganya pun melambung bisa Rp 5.000 - Rp 10.000 dan laku terjual. Orang akan bangga membeli dan mencicipinya. Ditambah dengan promosi yang bagus, orang akan datang mencarinya. Sama barang beda perlakuan akan beda pula harganya.
Setiap lima tahun dunia pariwisata disuguhi harapan baru di tampuk pimpinan Kementerian Pariwisata. Dengan berbagai judul kementerian yang diubah, seiring kebutuhan dan perkembangan zaman, tetapi Indonesia seolah dihadapkan pada masalah utama yang terus-menerus sama yaitu keseriusan membangun wajah pariwisata nasional.
Rakyat akan serius kalau pemerintah sebagai pemangku kebijakan juga serius. Pekerjaan rumah yang tak kalah berat adalah menyadarkan kementerian dan menteri lainnya beserta unsur daerah untuk serius mengangkat dunia pariwisata Indonesia.
Kementerian Pariwisata harus jangan pernah lelah menyadarkan teman-temannya dalam setiap rapat kabinet karena Kementerian Pariwisata tak bisa sendirian. Contoh saja, Pemda Sumatera Barat berani membuat semua atap gedung pemdanya berbentuk atap rumah Gadang. Di Bali, setiap siswa siswi Sekolah Dasar harus bisa menari tradisional Bali. Itu semua bentuk dukungan penuh terhadap dunia pariwisata, tak ketinggalan budaya nasional.
Di skala yang lebih besar, banyak sarana dan prasarana pariwisata bertumpu di badan kementerian lainnya. Kreativitas suvenir dan kerajinan tangan terkait dengan perindustrian. Pembangunan jalan ada di pembangunan umum. Kecepatan dan ketepatan informasi ada di informatika.
Dari atas turun ke bawah. Ke bagian ujung tombak pariwisata yang menjadi teman pertama para wisatawan. Bayangkan wisatawan yang datang akan bertanya tentang Indonesia kepada para sopir taksi, para penjual di pasar, dan pegawai hotel. Seperti di Kamboja misalnya, sopir tuktuk (semacam becak motor) diberi pelatihan bahasa Inggris. Hasilnya sopir tuktuk adalah sahabat para turis. (Baca pula: Ikut Menjual Pariwisata, Pengemudi Taksi di Semarang Dilatih Jadi Pemandu)
Menghadapi perdagangan bebas dunia, perlunya perlindungan terhadap para pemangku kepentingan seperti pengusaha dan pelaku bidang pariwisata termasuk agen perjalanan dan pramuwisata. Pembinaan, pendidikan dan lisensi bukan lagi sebagai sumber legalitas profesi tetapi sebagai cambuk kemajuan pariwisata.
Apalagi pariwisata Indonesia ke depan mulai diramaikan dengan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition). Kualitas sumber daya manusia diuji dalam setiap ajang MICE. Unsur pariwisata di MICE tidak bisa lagi hanya mengandalkan modal sumber daya alam semata, harus didukung penuh oleh sumber daya manusia yang bekerja di dalamnya.
Ya, pariwisata memang tentang kerja dan kerja keras. Tidak bisa lagi hanya mengandalkan pantai yang indah, alam yang hijau, ragam budaya sampai senyum ramah semata. Semua harus dikerjakan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi...
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR