Di era selfie ini, sangat relevan keluhan yang dituliskan oleh almarhum Galen Rowell mengutip seorang pendeta Buddha yang mengomentari para pewisata di Himalaya: "looking, looking, not seeing" — si pendeta menilai tamu-tamu di kediaman salju itu hanya melihat tanpa memahami.
Pelajaran ini menjadikan Galen Rowell pemotret alam terkemuka, setara Ansel Adam, Frans Lanting, Artie Wolfe dan David Muench.
Galen adalah pemotret gunung kelahiran 1940 dan meninggal bersama istrinya Barbara ketika pesawat kecil mereka jatuh tahun 2002.
Galen Rowell pastinya tidak dikenal oleh Gabriel Tri Swastono, anggota tim Fit@Fifty. Gabriel seorang pengusaha, pernah naik gunung ketika masih sekolah, dan terakhir dua bulan sebelum ke Sirkuit Annapurna diajak berlatih mendaki ke Lembah Suryakencana (2.400mdpl), Gunung Gede. Ketika di Gunung Gede, Gabriel—yang dipanggil teman-teman dekatnya Tono—tidak bawa kamera.
Ke Sirkuit Annpurna, ia menggunakan kamera saku Leica. Ia menyempatkan beli di New York, ketika mengunjungi putranya yang bersekolah di Amerika. Di toko kamera yang ia tanyakan ke penjajanya hanya kamera apa yang terbaik. Muncullah kamera mungil merah yang dibawa-bawa tetapi jarang digunakan.
”Saya dulu selalu berusaha tidak motret, Mas,” ungkapnya lugas, menunjukan kalibernya.
Memang lebih penting untuk memahami daripada sekadar melihat. Di Chame, Gabriel memotret lambang Palu Arit di seberang Hotel Himalayan tempatnya menginap. Tanpa perspektif sejarah, kami yang berusia 50 tahun dan menghabiskan 33 tahun hidup dibawah rezim Soeharto yang jijik sama komunisme, mungkin bipolar pada palu arit, benci sekaligus rindu. Tanpa paham bahwa 20 tahun politik Nepal guncang diprakarsai oleh gerakan Maoist, yang salah satu basisnya di Sirkuit Annapurna.
Wartawan BBC Michael Palin, dalam liputan Himalaya melaporkan, diculiknya Adrian Griffith ketika merekrut calon tentara Gurkha oleh Maoist, 2003. Foto Palu Arit hanya akan jadi anekdot saat ditayangkan ke sanak keluarga ketika pulang.
“Waktu Pramuka dulu, kita diajari bahwa kalau awan merah artinya besok cuaca buruk,” ujar Ade Rahmat dua hari setelah badai Hudhud melanda di Ledar.
Ade mengingatkan bahwa ia melihat awan merah di seputar Ganggapurna yang terlihat di selatan Basecamp Chulu West.
Bukan hanya melihat, dia juga turun lebih dulu, membatalkan niatnya mendaki Chulu West.
Ketika awan mulai menyergap High Camp Chulu West (5.000mdpl) Raharjo Unggul dan Ade Rahmat memutuskan turun ke Ledar. Akhirnya mereka terhindar dari keharusan turun dalam berjalan dalam badai ketika esoknya 14 Oktober Siklon Tropik Hudhud mencapai High Camp. Baca peristiwa selangkapnya di sini.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR