Pengaruh K-Pop tidak bisa disangkal. Bukan saja puluhan juta yang mengenali goyang jaran kepang Psy, tetapi gaya busana pesohor muda Korea sudah melanda Kathmandu. Di sini perkaranya bukan soal xenophobia, ini perkara hipotermia.
Kerja portir adalah pemula untuk masuk ke bidang pekerja ekspedisi pendakian. Bagi pekerja pariwisata alam posisi pemandu pendakian, atau climbing guide jadi idaman.
Jika orang lokal bekerja untuk pendakian Everest, gaji pemandu pendakian bisa mencapai 4.500USD sampai 5.000USD. Di bawahnya, asisten pemandu pendaki, turun lagi ke juru masak. Juru masak berpenghasilan lumayan karena kadang kala harus ikut mendaki ke kemah atas.
Asisten juru masak dapat honor lebih baik dari portir. Portirlah yang berada paling bawah mereka hanya dapat seratusan dolar untuk kerja beberapa hari.
Sebetulnya paling atas adalah Sirdar. Tugasnya mengepalai perjalanan atau pendakian, mengatur para portir dan juga pemandu. Tingkat manajer seperti ini sulit untuk dicapai, dalam ekspedisi pendakian banyak yang berasal dari pemandu pendakian yang piawai. Tim Chris Bonington, pendaki Inggris terkemuka dekade 1970-80, memakai Pertemba Sherpa sebagai Sirdar.
!break!
Pertemba yang menemani Doug Scott mencapai Everest melalui jalur Dinding Tenggara. Apa Sherpa, yang tersering mencapai Everest masa kini dan ketika itu sudah 10 kali, menjadi Sirdar bagi tim Everest Indonesia tahun 1997. Apa Sherpa mengawali karirnya menjadi asisten juru masak dalam ekspedisi pendakian.
Jadi, portir tentu bermimpi naik kelas menjadi asisten juru masak. Jika mungkin naik lagi menjadi asisten pemandu pendakian, seandainya masak tidak sukses.
Tidak heran jika para portir kebanyakan anak muda. Terutama di perjalanan trekking. Ketika di perjalanan baru para portir ini kelihatan. Pertama karena mereka seorang bisa mengangkat dua atau lebih tas perlengkapan anggota tim. Tiap tas beratnya lebih dari 15 kilogram ketika ditimbang di bandara.
Saat di Kathmandu berjumpa dengan para portir tidak ada yang istimewa. Penampilan mereka seperti anak muda lainnya di Kathmandu. Bahkan mirip dengan kaum muda kota besar seperti Jakarta. Tidak ada yang istimewa.
Namun ketika rombongan sudah mencapai Tal dengan ketinggian 1700 meter, busana para portir masih celana jins yang garis pinggangnya meliputi pinggul. Di atasnya menggunakan kemeja berkerah, untuk menutup kaos dengan tulisan nama pesohor Barat. Mereka berdandan ala B-Boys Korea.
Saat ketinggian sudah menjelang cuaca kutub, mereka menepis hujan hanya menggunakan lembar plastik yang dilampirkan diatas kepala dan punggung. Sama seperti kliennya, mereka di Manang juga belanja pakaian hangat atau sarung tangan.
Ketidaksiapan ini menjadi kekhawatiran Paido Panggabean, Unggul Raharjo, dan Ade Rahmat. Ketika badai salju menghantam, 14 Oktober 2014, ketiga anggota Fit@Fifty sudah berada di pondokan gunung Churi Lattar, Ledar (4.200mdpl).
Tiga portir yang menemani ketiga anggota ini turun, berusaha kembali ke kemah induk. Mereka akan membantu teman-temannya turun. Paido, Raharjo dan Ade pun membekali sepatu, kaos kaki, sarung tangan,kacamata hitam dan tongkat jalan.
Walau sudah lebih memadai, tetap saja tidak cukup. Saat mereka turun, dua portir digotong teman-temannya. Tubuh mereka beku, mata mereka sudah membelalak ke atas hingga tidak lagi terlihat bola matanya.
Para portir berupaya memaksa mulut mereka agar terbuka dan menuangkan air hangat. Seluruh badan mereka dipukuli supaya darah mengalir. Pelan-pelan kedua portir remaja mulai sadar. Maut pun membatalkan janjinya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR