Konsep green atau ramah lingkungan telah digaungkan dunia internasional sejak dua dekade silam, namun masih ada saja kalangan kita yang keliru menerjemahkan konsep ini.
Dalam konteks green building atau green hotel, misalnya, sebuah hotel di Kalimantan menerjemahkan secara lugu konsep hijau ini dengan mengecat dinding serta memasang taplak meja dan sprei berwarna hijau. Tentu saja ini keliru!
Sangat disayangkan kita masih saja tertinggal dalam mengaplikasikan konsep hijau, sementara dunia tengah berlomba-lomba menerapkan terobosan yang lebih maju: konsep sehat.
Namun, sebelum membahas tentang konsep sehat, kita perlu memahami terlebih dahulu mengenai kriteria hijau yang harus dimiliki sebuah gedung —di mana warga perkotaan menghabiskan hampir 80 persen waktu untuk beraktivitas.
Kriteria pertama yang harus diupayakan dalam mendirikan green building atau bangunan ramah lingkungan adalah tata guna lahan. Bangunan tidak didirikan di atas lahan produktif atau mengandung racun berbahaya.
Idealnya, bangunan didirikan di kawasan yang dilengkapi fasilitas publik memadai, sehingga untuk mencapainya, orang cukup berjalan kaki atau bersepeda, dan tidak perlu menggunakan kendaraan bermotor—upaya mengurangi emisi.
Sederet kriteria hijau lainnya, yaitu mendirikan bangunan dengan orientasi utara-selatan untuk mengurangi pemborosan energi. Selain dilengkapi ventilasi yang memungkinkan masuknya cahaya alami, bangunan juga dipayungi kanopi tanaman dan pepohonan yang meneduhkan sekaligus meredam panas.
Kriteria ini sudah dipenuhi oleh Singapura. (Lihat: Indonesia Belajar dari Singapura Konsep Bangunan Hijau) Tidak heran bila suhu di Negeri Singa ini empat derajat lebih sejuk dibandingkan tetangganya, Batam, Kepulauan Riau.
Pemenuhan kriteria tersebut perlu dibarengi upaya lain yang berkenaan dengan pengaturan penggunaan energi, dari air sampai listrik. Begitu juga dengan pengelolaan sampah dan limbah, pengawasan pes, serta penyajian bahan pangan produksi lokal.
Hal yang tak kalah penting tentu saja pemilihan dan penggunaan material, mulai dari bahan bangunan, bahan untuk dekorasi interior, sampai alat-alat pembersihnya. Semua harus menggunakan green material.
Dalam hal rancang bangun, para arsitek dan desainer interior perlu menyiasati penggunaan material yang tidak memboroskan energi. Salah satu contohnya, penggunaan lantai marmer impor dari Italia yang tanpa disadari berandil memperparah emisi.
Bagaimanapun, industri tidak akan menyuplai material yang tidak ramah lingkungan bila tidak ada demand dari para arsitek dan desainer interior.
Di luar perkara bangunan, konsep hijau juga meliputi pemberdayaan masyarakat sekitar yang dengan sendirinya berandil mengurangi emisi. Contohnya, dalam konteks green hotel, beberapa hotel di Yogyakarta memberdayakan tukang becak, petani, dan perajin suvenir.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR