Begitu juga dengan para dokter yang bekerja merawat dan menjahit luka korban hingga detik-detik terakhir jelang kedatangan musuh. Roswita mempertanyakan mengapa para dokter lain, yang tinggal di kota-kota dan sedang memperkaya diri, tidak bersedia menggantikan rekan mereka di garis depan pertempuran?
Setelah kejadian pembantaian kala subuh 4 September tadi, Roswita memang membenci orang-orang Belanda yang dengan keji merusak jenazah para pemuda Mobiele Brigade Kepolisian. Namun, pada Selasa 11 November, dia menulis bahwa pemuda-pemuda Republik juga telah melakukan tindakan serupa terhadap jenazah tiga pemuda Belanda.
“Haruskan aku menyaksikan ini untuk dapat melihat dengan mata-kepalaku sendiri mengenai kekejaman dalam peperangan?” tulis Roswita. “Kekejaman, yang dilakukan oleh kedua pihak? Sungguh mengerikan!”
Dia ingin menempuh jalan hidupnya dengan menyerahkan diri kepada pekerjaan sosial dan meringankan penderitaan orang lain. Meskipun dia tidak mengikari bahwa putus cinta menjadi salah satu motivasinya.
Buku harian Roswita pertama kali terbitkan oleh Martinus Nijhoff di Den Haag, Belanda, dengan judul Herinneringen van een Vrijheidsstrijdster (Kenangan Pejuang Kemerdekaan) pada 1974. Beberapa bulan kemudian pada tahun yang sama, Balai Pustaka menerbitkan buku hariannya dalam bahasa Indonesia, Pengalamanku di Daerah Pertempuran Malang Selatan. Tebalnya 111 halaman.
Roswita adalah adalah anak dari pasangan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat dan Raden Ajeng Soewitaningrat. Gadis intelektual itu masih terhitung keponakan dari Hoessein Djajadiningrat, orang Indonesia pertama yang bergelar doktor, yang dikenal juga sebagai “bapak metodologi penelitian sejarah Indonesia”.
Aksi Polisional pada pertengahan 1947 bukanlah yang pertama dan terakhir. Tampaknya naluri Roswita telah menduga bahwa dirinya dan rakyat Indonesia masih harus menghadapi satu pertempuran lagi sebelum mereka mencapai kemerdekaan penuh. Sejarah menyuratkan takdirnya, pada Desember 1948, Belanda melakukan Operatie Kraai, sebuah Aksi Polisional Kedua yang bertujuan melemahkan kedudukan Republik di Yogyakarta.
“Gencatan senjata telah diumumkan. Namun, aku tahu dengan pasti bahwa ini tidak akan berarti perdamaian bagi kita,” tulis Roswita pada bulan September 1947—sekitar setahun lebih sebelum Aksi Polisional Kedua. "Dalam waktu dekat kita akan dihadapkan kembali pada aksi polisionil yang lebih ganas.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR