Roswita memang berlatar pendidikan Belanda dan semasa sekolah terkenal dekat dengan orang-orang Belanda. Namun, peristiwa pembantaian tadi membuatnya benci kepada orang-orang Balanda yang menganggap diri mereka mempunyai peradaban yang lebih tinggi ketimbang orang Timur. “Untuk pertama kalinya aku merasakan kebencian,” ungkapnya, “kebencian yang dalam dan tidak terkekang.”
Dia merupakan gadis perawat berusia 28 tahun dengan paras menarik, setidaknya dari pengakuan teman seperjuangannya, terlahir dari keluarga terpandang asal Jakarta. Gadis pecandu rokok, yang menyadari bahwa katup jantungnya tidak bekerja sempurna, itu rela meninggalkan kotanya untuk bergabung bersama pejuang Republik.
Dia merawat korban luka-luka karena pertempuran yang diderita warga sipil dan pejuang, hingga lelaki korban pelacuran—yang menderita ulcus penis.
Selama Agustus hingga Desember 1947, dia bertugas di beberapa pos di Malang, Jawa Timur: Turen, Ngerejo, Sumberpucung, Pujon, hingga Tumpang. Dia merawat korban luka-luka karena pertempuran yang diderita warga sipil dan pejuang, hingga lelaki korban pelacuran—yang menderita ulcus penis.
Sebagai perawat yang membantu para dokter, Roswita bertugas mengidentifikasi luka-luka pejuang yang malang itu. Dia ingin menempuh jalan hidupnya dengan menyerahkan diri kepada pekerjaan sosial dan meringankan penderitaan orang lain. Meskipun dia tidak mengikari bahwa putus cinta menjadi salah satu motivasinya. “Bekerja, bekerja keras, hingga akhirnya lupa akan penderitaan sendiri.”
“Kini aku memandang semua itu dengan pikiran tenang dan rasionil,” tulisnya. Dia mempertanyakan solidaritas dalam perjuangan, dan mengkritik pemerintah Yogyakarta yang tak memberikan perhatian lebih banyak soal pasokan militer dan logistik mereka.
Dalam desingan peluru, Roswita dan para perawat lainnya membawa korban dengan tandu, berjalan beberapa kilometer jauhnya. Sementara, belahan lain di Jawa, dia menyaksikan warga Yogyakarta masih melenggang dengan mobilnya.
Dia juga mengungkapkan dalam buku hariannya bahwa para pejuang telah tiga bulan lebih di medan pertempuran, namun belum juga diganti. “Sementara di kota-kota besar masih banyak pemuda-pemuda yang menghabiskan waktunya dengan berjalan-jalan kian kemari dan bermalas-malasan.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR