22 Januari 2013
Herto Bouri, Etiopia, 10°17\'12\'\' N, 40°31\'55\'\' E
Datanglah, datanglah, siapa pun engkau.
Pengelana, pemuja, pencinta pergi.
Tak jadi masalah.
Kami bukanlan kafilah yang hilang harapan
Datanglah tetap, meski kaulmu terpatahkan
Seribu kali pun.
Datanglah, mari datanglah.
—Jalal ad-Din Mohammed Balkhi (Rumi)
Pada hari yang cerah di tanah datar—misalnya, di tengah lanskap Lembah Great Rift yang menyerupai lantai kuning gading dan kini melingkungi saya di Etiopia selatan—memandang 96 kilometer ke depan masih mungkin dilakukan. Radius ini dapat ditempuh dengan tiga hari berjalan kaki. Tujuh tahun ke depan, saat saya merunut jejak manusia beranatomi modern pertama yang mengembara ke luar Afrika, jarak ini—bagi saya dan bagi pitarah kita dulu—mewakili semesta yang nyata. Cakrawala yang membatasi saya.
Tentu saja, saya bermain sedikit curang: peranti komunikasi yang saya pikul di punggung demi berbagi perjalanan ini dengan Anda akan membentangkan ketidakterbatasan digital yang mungkin tak pernah dibayangkan leluhur nomad kita. Namun, saya percaya, pengalaman menjejaki benua ini, langkah demi langkah hingga 2020, tetap menguak realitas biologis yang tak terelakkan. Manusia dirancang untuk berjalan kaki. Seleksi alam melatih kita untuk mengikat makna hari-hari kita dengan langkah santai berlaju 4,8 kilometer per jam. Baik kita merasa sial atau beruntung karena hidup pada zaman penuh ingar-bingar dalam sejarah manusia—saya pribadi tak akan memilih masa lainnya—ada banyak alasan logis untuk melambatkan ritme.
Untuk rehat sejenak dalam perjalanan, seperti yang dilakukan seorang gembala Afar bernama Idoli Mohamed; kedua lengannya bersilang di pinggang di atas tongkat-tongkat akasia yang diminyaki dengan tangan. Untuk mengamati. Untuk menyimak. Untuk menengok ke belakang, mencari arahan kompas yang lebih tua. Kumpulan pertama Homo sapiens yang merintis jalan untuk kita merambah seluruh planet—kaum pemburu-pengumpul yang anehnya tak begitu kita kenal dan, menurut peneliti, berjumlah beberapa ribu—punya pelajaran yang berharga untuk diwariskan. Lagi pula, mereka penyintas tulen. Inilah pangkal tolak dari perjalanan Out of Eden.
Panduan perjalanan jauh ini—penyebaran manusia pertama ke luar Afrika—disusun cukup rapi oleh ilmu pengetahuan.
Fosil dan penanda DNA yang ditemukan dalam populasi modern menunjukkan bahwa manusia mulai berbondong-bondong ke utara “Eden” arkeologis kita di Lembah Rift, Afrika, pada rentang masa antara 50.000 dan 70.000 tahun silam. Terdesak oleh pertambahan jumlah penduduk atau terpikat perubahan iklim yang lebih bersahabat, sebagian pengelana awal berderap ke barat menuju Eropa dan, jangan-jangan, menyapu bersih kaum Neanderthal. Yang lain langsung bertolak ke Eurasia, dan rute itulah yang akan saya tempuh. (Stamina lutut saya sudah tak memadai lagi untuk menambahkan Eropa ke dalam jadwal. Apalagi Oseania, yang dicapai manusia dengan perahu 50.000 tahun silam: berenang gaya anjing saja saya tak sanggup.)
Dari Timur Tengah, saya akan menapaki jalur gelap migrasi kuno melintasi Asia Tengah hingga ke Tiongkok, lantas berbelok ke utara, ke Siberia Arktik. Dari sana, saya akan naik kapal ke Alaska. (Dunia fauna yang bukan main kayanya dan ditemukan oleh orang Amerika pertama sehingga seorang arkeolog, Ofer Bar Yosef, sempat mengusulkan agar saya menamai proyek ini Into Eden.) Kemudian saya melanglang bentangan Amerika ke Tierra del Fuego, ujung Amerika Selatan di mana kami akhirnya kehabisan benua. Di sana jugalah seorang pemuda yang belum berpengalaman, Charles Darwin, mulai menyulut rentetan penemuan kembali manusia pada 1830-an, saat usianya baru 23 tahun.
Beberapa minggu lalu, sebelum berangkat ke Afrika, saya terbang ke Isla Navarino di Chilean Tierra del Fuego, hendak melihat garis akhir proyek yang akan memakan tujuh tahun usia saya. Seorang wanita sepuh, Cristina Calderon, 84, menyambut saya di pintu pondok. Ia petutur asli bahasa Yaghan terakhir. Kaum pribumi ini pernah membuat Darwin melongo karena mereka gemar memancing tanpa busana di pantai-pantai Terusan Beagle yang berbalut es, namun kini punah budayanya. Semoga saya bisa bertemu dengan Calderon sekali lagi, saat saya melangkah ke beranda tepi pantainya bertahun-tahun kemudian di belahan bumi yang berbeda.
Namun, betapa inginnya saya membawa kata-katanya melintasi dunia. Sekitar 7000 tahun silam, bangsanya pernah menyelisik salah satu daerah perawan berupa bentangan alam sejauh 96 kilometer. Saya mengisahkannya dalam bahasa Spanyol. Ia duduk di tepi jendela, memainkan jari-jemari, merenungi stempel bertinta, serta menuturkan nama benda dan hewan dalam bahasa Yaghan yang nyaris mati itu. Terdengar lebih mirip suara berkumur ketimbang bahasa manusia—kata-katanya berliku, gemulai, dan halus. Ia sedang berusaha mengingat.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR