Camat Tembagapura Slamet Sutejo mengakui, hanya ada dua puskesmas di wilayahnya, yakni Tsinga dan Arwanop. ”Masyarakat di luar dua wilayah itu harus berjalan minimal lima jam ke puskesmas. Karena itu, warga sering mengeluh ke mana tempat mereka harus mendapat pengobatan,” ujarnya.
Wakil Presiden Pengembangan Komunitas PT Freeport Indonesia Claus Wamafma menyatakan, pihaknya siap memberi bantuan logistik dan transportasi untuk memberi layanan kesehatan bagi masyarakat pedesaan di Mimika dan kabupaten lain.
”Kami kesulitan mencari tenaga yang mau bermukim di pedalaman berbulan-bulan,” katanya.
!break!
Puluhan desa
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika, Ibrahim Iba, menjelaskan, ada 41 desa di daerah pegunungan belum memiliki sarana kesehatan seperti puskesmas pembantu.
Puluhan desa itu ada di lima distrik, yakni Tembagapura, Agimuga, Jila, Hoya, dan Alama. Akibatnya, sekitar 12.000 warga sulit mengakses layanan kesehatan.
Kondisi itu terjadi karena cuaca dan kondisi geografis sulit. ”Semua desa hanya bisa ditempuh dengan transportasi udara. Biaya sewa pesawat Rp 80 juta sekali perjalanan,” ujarnya.
Mayoritas warga di 41 desa itu menderita ISPA. Hal ini diperkuat data Dinas Kesehatan Provinsi Papua hingga November 2014, yang mencatat jumlah penderita ISPA di daerah pegunungan 4.403 kasus dengan tingkat prevalensi 0,94 berbanding 1.000 penduduk. Itu dipicu kebiasaan warga menghangatkan diri dengan tungku api dalam honai yang tertutup rapat.
Kepala Dinas Kesehatan Papua Aloysius Giay mengakui, meski kebijakan otonomi khusus di Papua telah berjalan 13 tahun, masih ada daerah belum tersentuh pembangunan. Karena itu, Gubernur Papua Lukas Enembe mengalokasikan 15 persen dari Rp 80 miliar dana otonomi khusus bagi tiap kabupaten untuk sektor kesehatan.
Tim dari Unit Percepatan dan Pembangunan Kesehatan Papua akan meninjau kondisi kampung yang tak tersentuh layanan kesehatan. UP2KP akan mengawasi penggunaan anggaran kesehatan agar tepat sasaran.
Pihaknya juga menyiapkan program layanan kesehatan melalui jalur udara, laut, dan berjalan kaki ke semua wilayah pedalaman awal 2015. Di tiap kampung, akan ditempatkan delapan tenaga kesehatan yakni dokter, perawat, ahli kesehatan lingkungan, dan gizi, dengan sistem rotasi tiga bulan. Itu untuk mengatasi kendala geografis layanan kesehatan di Papua.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR