Banjir di DKI Jakarta diperkirakan bakal memasuki puncaknya pada Januari/Februari 2015. Selain curah hujan yang juga diperkirakan paling tinggi pada saat itu, kondisi tanah yang jenuh dan tak bisa lagi menyerap air, menjadi penyebab. "Hujan terjadi mulai Desember (2014), dan pada Januari mendatang tanah mulai jenuh dan tidak mampu lagi menampung air," papar Direktur Pengurangan Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan, Rabu (3/12).
Tanah yang sudah jenuh, ujar Lilik, adalah lapisan tanah yang di antara partikelnya sudah dipenuhi air. Ketika sudah jenuh, tanah tak lagi bisa menyerap air. Dalam kondisi itu, air akan langsung melintasi permukaan tanah tersebut.
Berdasarkan pembagian wilayah administratif, tanah di DKI yang paling mudah jenuh berada di kawasan Jakarta Utara. Tanah di sini cenderung rendah dan lokasinya dekat dengan laut.
Sebaliknya, sebut Lilik, lokasi yang jauh dari laut dan dengan lapisan tebal menjadikan Jakarta Selatan punya peluang untuk bisa menyerap air lebih banyak.
"Itu yang membuat kami berkonsentrasi menjadikan kawasan selatan sebagai daerah resapan air, selain karakter tanahnya yang tidak mudah jenuh," imbuh Lilik. Strategi ini diharapkan juga bisa mengurangi ancaman banjir untuk daerah di kawasan Jakarta Utara.
Namun, kata Lilik, penggarapan resapan air di kawasan selatan Jakarta belum optimal. Karena itu, banjir diperkirakan tetap bakal menggenangi daerah yang selama ini memang rawan banjir.
Kepala Bidang Pelaksanaan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Bastari mengatakan, ada 78 titik paling rawan banjir di DKI.
Di antara daerah yang rawan banjir itu, sebut Bastari, adalah Petamburan, Jati Baru, dan Tanah Abang untuk wilayah Jakarta Pusat. Lalu, Mampang dan Tebet untuk Jakarta Selatan.
Adapun untuk kawasan Jakarta Timur, daerah rawan banjir antara lain seluruh bantaran Kali Ciliwung seperti Balai Kambang, Cililitan, Cawang, Rawajati, Pangandegan, Bukit Duri, Kebon Kosong, Bidara Cina, dan Kampung Pulo.
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR