Binaiya saya kenal lewat cerita-cerita teman-teman saya yang ikut Operation Raleigh di Seram, Maluku, tahun 80-an. Ketika itu dua panitia asing di-SAR (istilah pendaki yang hilang dan dicari secara resmi—dari kata search and rescue) hingga akhirnya satu ditemukan tewas di area puncak dan yang lainnya berhasil mencapai kampung Kanikeh dengan luka-luka yang sudah dipenuhi belatung.
Pendaki papan atas Indonesia yang terlibat urusan ini, seperti almarhum Norman Edwin, pendaki yang meninggal di Aconcagua, Loddy Korua yang sekarang dikenal sebagai pegiat arung jeram. Ini membuat Binaiya menjadi gunung legendaris.
Setahun lalu, tim Yepe, menyeberangi Binaiya dari utara ke selatan dengan membuka jalur lama yang sudah rapat. Rombongan ini melibatkan Hendricus Mutter, yang tahun 80-an pernah menjajal Makalu (8.400 meter di Nepal Himalaya) bersama tim Trupala SMA 6 Jakarta.
Anggota tim perkumpulan yang sudah berdiri 40 tahun di Malang, Jawa Timur ini merintis jalur dari Desa Yaputi lurus ke puncak Binaiya. Lalu turun ke Kanikeh untuk mencapai ke pantai utara Seram.
Akhirnya, nafsu lebih unggul dibandingkan pertimbangan akal, saya mengiyakan ajakan Agam Napitupulu. Akhir-akhir ini saya mendaki hanya setahun sekali, itu pun gunung yang bisa dicapai dalam sehari atau paling lama dua malam di lerengnya.
Binaiya, menurut Agam, akan didaki dan kembali dalam sepuluh hari. Kebalikannya Agam akhir-akhir ini naik gunung seperti minum obat seminggu sekali. "Kita jalan sama Dody (Johanjaya mantan produser Jejak Petualangan Trans7) dan Fahmi (anggota Wanadri, klub pendaki tertua di negeri ini)," Agam mengatakan kepada saya.
Anggota termuda kami, Fahmi, masih kepala tiga. Ia yang mengirimkan jadwal pendakian kita. Beda dari literatur yang saya baca, pendakian rancangan Fahmi dan Agam hanya sepuluh hari.
Ketika GPS Dody dan Agam keluar, baru saya ketahui, bahwa rute kami didapat dari Hendri Agustin.
Belum lama, pengarang buku panduan mendaki ini, menjelajahi Binaiya. Ia menjadi pendaki pertama yang mengumbar rute ringkas lewat desa Piliana. Hanya tujuh hari di gunung, dari pantai kembali ke pantai. Data GPS-nya dikirimkan kepada Dody dan ditembuskan kepada Agam.
Hendri juga melengkapi informasinya dengan siapa teman pendakiannya. Ia menjelaskan, timnya dibantu oleh petugas Taman Nasional Manusela, dan Sigret (Ige) Illepatoa serta saudaranya Yustus (Utus) Illepatoa.
Tim kami pun memutuskan untuk melengkapi GPS kami dengan kedua pemandu dan porter itu. Sekaligus persyaratan pendakian yang diminta pihak Taman Nasional.
Di pelabuhan Taheru baru kami semua berkumpul Ige datang, disusul Ato. Utus masih nanti di desa Piliana. Kini kami harus menyeberang teluk menuju Yaputi. Lalu mendaki ke desa Piliana. Dody dengan bebannya yang sarat malah tiba lebih awal. Ia sudah santai bersandar diteras rumah raja (kepala desa) Piliana. Setelah kami semua tiba satu per satu, baru Utus muncul memperkenalkan diri, lengkap sudah tim kami bertujuh.!break!
Malam itu kami menjalani upacara makan sirih, untuk mendoakan keselamatan kami. Dikisahkan oleh tetua desa, bahwa pada awalnya adalah Alifuru, semua berasal dari satu ibu, Nusa Ina.
"Kemudian datang agama hingga kita jadi berbeda, tetapi kita semua berasal dari satu ibu," jelas mereka. Perbedaan ini sangat terasa ketika kami menyeberangi ke Yaputi.
Di sisi timur terlihat gereja dan di baratnya masjid. Warga saling menyapa ketika lewat, namun saat menyusuri jalan desa ada terasa perbedaan di satu garis, bahwa kami telah meninggalkan satu sisi dan masuk ke sisi lainnya.
Rute kami hanya sehari saja melewati kampung, selanjutnya kami menembus kebun kopi dan sayur untuk masuk hutan, menyusur sungai. Kemah pertama kami di Aimato, yang memiliki aliran sungai kecil untuk minum.
Hanya setengah hari jalan dari desa, sekitar enam jam, dengan dua kali menyeberangi anak sungai Yaputi. Saat menyeberang terlihat batang melintang diatas bongkah batu yang tinggi. Itu jalan menyeberang ketika sungai banjir, begitu kami saling bertutur. Hari pendakian ketiga kami mendaki sampai 1000 meter lebih.
Sasarannya lembah kecil di kaki sadel antara Manukupa dan Wayputih. Dataran ini memiliki genangan air saat musim hujan mengguyur. Namun dari catatan Hendri kami dianjurkan berbekal air dari Aimoto. Ternyata air masih ada, dan beban air yang berat itu jadi penyelesalan.
Paling tidak meninggalkan perkemahan Isilali ini menuju perkemahan Nusapeha kami tidak perlu menggotong air terlalu berat karena di Nusapeha terdapat genangan air. Isilali adalah kemah yang digunakan penduduk sekitar Binaiya, untuk berburu kijang. Kotoran kijang memang banyak tersebar di setapak yang kami lalui. Kijang sendiri baru kami saksikan di kejauhan ketika mendaki
lereng Wayputih. Bergerak santai di antara bebatuan di lereng lembah jauh di bawah kami.
Hari keempat ini tidak banyak ketinggian bertambah, tetapi kami harus melewati satu gunung untuk bisa tiba di sadel antara Wayputih dan Binaiya Besar. Saya dan Fahmi sampai terakhir. Bagi Fahmi, ia berada di urutan belakang lantaran dengan telaten ia menunggui saya.
Kami sudah mendirikan kemah ketika hari masih siang, tetapi pendakian tidak dilanjutkan karena masih cukup waktu. Besoknya kami berangkat menuju puncak.
Saat sampai di atas puncak Binaiya Besar, kami melihat puncak lainnya di seberang lembah. Ige menjelaskan, puncak Binaiya yang tertinggi adalah yang di depan kami.
Dan, hari masih panjang. Kami pun terus menyeberangi sadel kedua puncak dan di kolam kecil meninggalkan bekal kami. Belum lagi tengah hari kami sudah menjejaki puncak Binaiya. Dari puncak ini pelabuhan Taheru jelas terlihat. Yang lebih penting lagi BTS di Taheru satu garis pandang ke puncak Binaiya, artinya telepon genggam bisa berfungsi. Mukjizat masa kini.
Baca: Peneliti Senior LIPI Tewas Saat Mendaki Gunung di Maluku
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR