Masyarakat Indonesia secara umum masih belum siap menghadapi bencana dan mitigasi bencana pun masih jauh dari ideal. Bencana masif longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, sekali lagi menunjukkan itu.
Jutaan penduduk hidup di kaki-kaki tebing rapuh, yang dengan curah hujan tinggi, longsor hanyalah bom waktu. (Menurut sebuah kajian di Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan; besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi merupakan faktor yang menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah serta jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan longsor.)
Pada 10-11 Desember lalu, hujan deras melanda daerah Banjarnegara. Tanah jenuh dengan air, longsor kecil di beberapa tempat.
Lalu pada 12 Desember, kira-kira pukul 17.00 WIB terjadilah longsor. Saat itu hujan gerimis. Bagian dari Bukit Telagalele longsor menimbulkan bunyi gemuruh. Material penyusun Bukit Telagalele adalah endapan vulkanik tua, sehingga ada pelapukan.
Material longsor itu meluncur ke bawah berbelok ke sisi kiri karena gravitasi bumi dan mengikuti kemiringan lereng. Material longsor menimbul 8 rumah kemudian meluncur melewati ruas jalan antarprovinsi Banjarnegara–Pekalongan, hingga menimbun 35 rumah. Material longsor menerjang permukiman di bawah dengan waktu kurang dari lima menit.
"Di Banjarnegara ada 20 kecamatan yang memiliki potensi sedang hingga tinggi [untuk terkena] longsor. Dusun Jemblung, di dalam peta, merupakan daerah yang rawan longsor," ujar Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Senin (15/12).
"Warga di Dusun Jemblung sekitar 308 jiwa, di mana 200 jiwa berhasil menyelamatkan diri, sedangkan 108 jiwa diperkirakan tertimbun longsor," lanjutnya.!break!
Longsor tak pelak lagi merupakan suatu fenomena alam yang sangat potensial menimbulkan kerusakan dan kerugian. Untuk Indonesia, titik rawan longsor tersebar di banyak daerah — sepanjang Bukit Barisan di Sumatera, Jawa bagian tengah dan selatan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Lihat peta berikut ini.
"Saya gemetar mendengar korban longsor di Karangkobar yang sedemikian banyak, tanpa bisa memberi peringatan langsung," Edi Prasetyo Utomo (58), peneliti senior pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan pada Kompas, Minggu (14/12).
Sudah 33 tahun Edi menjadi peneliti geologi lingkungan dengan fokus pergerakan tanah atau longsor. Namun, jelang akhir karier sebagai penelitinya, ia belum melihat ada perubahan signifikan sikap pemerintah melindungi rakyatnya dari bencana tersebut.
"Longsor akan berulang, ciri-cirinya bisa dikenali."!break!
Jepang adalah satu negara yang telah dengan serius menangani antisipasi bencana tanah longsor dengan membuat sistem peringatan dini tanah longsor di ruas jalan pegunungan yang berhasil memberikan informasi pergerakan tanah sehingga mampu memberikan rekomendasi kepada pihak berwenang melakukan penutupan jalan — 48 jam sebelum longsor terjadi.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR