Pada Jumat sore, minggu ketiga di pulau memukau ini, aku menemukan ibu-ibu mulai mengangkut pasir dari Pantai Mala menggunakan karung-karung dan sedikit dari mereka menggunakan keranjang anyaman bambu yang digendong di punggung. Biasanya, keranjang ini mereka gunakan untuk mengangkut hasil kebun.
Aku pun tertarik untuk turut mengangkut pasir bersama mereka sembari bercanda dan mendekatkan diri.
Perempuan-perempuan ini mengangkut pasir karena hari Minggu besok, suami mereka akan kerja bakti merenovasi masjid. Butuh banyak pasir dan air untuk renovasi masjid. Ibu-ibu luar biasa ini pun berinisiatif mengangkut pasir di hari Jumat dan air dari sumur pada Sabtu sore.
Mereka tidak sendiri. Seperti biasanya, anak-anak kecil mengekor ibunya bermain di pantai dan yang cukup besar membantu ibunya menyiapkan pasir sampai siap angkut atau turut mengangkut pasir, tentunya dengan takaran mereka sendiri. Sungguh fenomena yang tidak biasa di kampung halamanku.
Ini lebih dari gotong royong dan nilai-nilai kebersamaan, bila kita menyimpulkan sendiri dari sekelumit kisah ini. Tetapi, memang perempuan-perempuan di sini berperan di banyak hal dari ranah domestik sampai ranah publik.
Semua urusan rumah tangga diurus oleh perempuan; makanan, cuci baju dan piring, bersih-bersih rumah, dan urusan anak. Bahkan urusan dapur tidak hanya dalam hal memasak, tetapi juga kebutuhan dasarnya seperti belanja dan bahan bakar yang harus dicari di kebun (pelepah dan sabut kelapa, ranting-ranting kayu) dan biasanya dicari bersama anak perempuannya.
Penghasilan utama penduduk sini memang dari hasil laut yang untuk saat ini, tak bisa dikerjakan perempuan. Tetapi tunggu dulu. Perempuan, dalam hal ini bersama anaknya, harus ke pantai menunggu suaminya kembali dari laut pada saat-saat sang suami biasanya datang. Mereka membantu membawa peralatan melaut, bensin, dan lainnya. Peran menjual ikan ke Kota Tahuna di pulau besar yang mereka sebut daratan atau benua juga dilakukan perempuan.!break!
Beberapa perempuan di pulau ini juga berpenghasilan membantu perkonomian keluarga dengan menjual kukise (cookies) dan buruh cuci. Tidak hanya itu, untuk penghasilan tambahan dari hasil kebun, peran perempuan juga ada. Perempuan bersama anaknya — terutama yang perempuan — juga ke kebun, memetik pala, limun, membawa kelapa, dan banyak hal lainnya.
Ya, anak laki-laki di pulau kecil ini cenderung membantu dan mewarisi keterampilan ayahnya. Baik dalam mencari ikan, urusan mesin pambut (pump-boat), mesin generator, ataupun memanjat kelapa. Soal yang terakhir ini, beberapa anak perempuan punya keterampilan yang sama. Anak-anak laki-laki di tempat ini diajari untuk menjadi tulang punggung keluarga dan belajar mencari nafkah. Akhirnya banyak anak laki-laki tidak meneruskan sekolahnya.
Berbeda dengan perempuan. Jika tidak segera menikah, maka mereka mendapat kesempatan lebih untuk meneruskan sekolahnya bahkan akhir-akhir ini bermunculan minat untuk sampai kepada jenjang perguruan tinggi.
Ya, secara statistik persentase perempuan sekolah jauh lebih banyak daripada laki-laki. Mengesankan!
Kiprah perempuan Pulau Lipang belum selesai; aku belum menjabarkan tentang peran perempuan dalam ranah publik.
Suatu hari, aku diundang dalam sebuah pernikahan. Acara dan hiasannya sangat sederhana, namun bukan itu yang mengagetkanku. Ternyata tamu yang datang untuk menyaksikan akad nikah adalah perempuan dan anak-anak yang menunggu pembagian kukise. Walau ada beberapa laki-laki “bertengger”. Mereka tak lain adalah keluarga mempelai, dua saksi, penghulu, dan tentunya saya yang bertindak sebagai pembawa acara dan fotografer sekaligus.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR