11 Mei 2013
Di atas MV Abuyasser II dekat Selat Bab-el-Mandeb, 13°48\'12\'\' N, 42°31\'32\'\' E
“Seorang pria lebih mungkin mengenal pikirannya karena dengan pikirannyalah ia bisa mengerti. Ia bisa mengenal hatinya tetapi tidak mau. Itu benar. Sebaiknya jangan menyelidik ke dalam sana.” —Cormac McCarthy
“Anda pasti telah mengeraskan hati,” tuduh si kelasi.
Kami tengah melaju ke Arabia di atas kapal sepanjang lapangan bola. Di sini tertampung hampir 9.000 jiwa—8.000 domba, 855 unta, dan 24 manusia. (Formasi spesies terakhir: 20 kru, tiga dokter, satu penumpang.)
Awak kapal ini tampak masygul dan malu. Ia resah memikirkan kesan orang terhadap pekerjaannya. Gara-garanya ialah dagangan sederhana kapalnya: hewan hidup yang harus bertahan mengarungi Laut Merah mahaterik. Domba mengembik dalam kandang-kandang logam di geladak atas. Unta-unta berat nan lamban asyik menyodok-nyodok di bawah sana. Leher mereka berayun-ayun di dalam palka kapal yang semigelap, mirip pepohonan dari hutan bawah tanah yang eksotis.
Bukan, kami bukan bahtera Nuh. Semua hewan ini bakal disembelih di Timur Tengah. Namun, kelasi perasa ini tak henti-hentinya memprotes. Ia masih muda. Agaknya ia tak tahu bahwa sejak permulaannya manusia telah mengeraskan hati—jauh sebelum pitarah kita menyeberangi Laut Merah 60.000 tahun silam, meninggalkan Afrika, dan memencar ke seluruh dunia dengan tekad baja. Yang dahulu dimakan sudah tandas. Hari ini “makanan” jinak wajib dibawa bersama kita.
Kapal Motor Abuyasser II: tiket saya meninggalkan Afrika.
Bertolak ke Freetown, Sierra Leone. Dibangun di Italia pada 1978. (Kendali mesin di anjungannya bernama mirip opera: Adagio, Mezza, Tutto, Finito). Sejatinya kapal ini mengangkut kendaraan. Namun, di Jibouti, buruh pelabuhan menyelundupkan hewan ternak melalui jalur landai mobil selewat tengah malam, di bawah penerangan lampu-lampu jingga dermaga yang benderang. (Senyapnya operasi ini, tapak kaki empuk unta yang tak berisik meski melewati baja yang berombak-ombak, bak halusinasi.) Kini kami menuju Jeddah, Arab Saudi, dan terkatung-katung di lautan selama tiga hari. Kami ibarat peternakan terapung. Helai-helai jerami menyambut kami setiap bangun pagi. Petugas di kapal ini orang Suriah. Nah, bertambahlah muatan kesedihan kami.
!break!“Kenapa anak-anak harus dibunuh?” ratap Kapten Abdulla Ali Nejem. “Kenapa pria dan wanita dibunuh? Kenapa? Peternakan? Hancur! Jalan-jalan? Hancur! Rumah sakit? Hancur! Sekolah? Hancur! Negeriku? Hancur! Semuanya hancur! Suriah—habis! Habis!”
Perang telah melenyapkan imaji-imaji tanah kelahiran yang kedaluwarsa namun terpatri dalam di benak Nejem. Sebagai pelaut, gambaran itulah satu-satunya negara yang dimilikinya. Keturunan pedagang Fenisia yang kini menua itu duduk bersilang kaki seperti swami atau guru agama Hindu di anjungan, sibuk mengupas jeruk kecil yang masam dengan pisau lipat. Ia bukan pria yang ramah dan tegas. Ketika setiap katanya diulangi tiga kali, bukan opini yang ditegaskan. Bukan: hukum alam semestalah yang tengah dibeberkan. Kapten Abdullah gemar merepetisi kata-katanya karena hukum semacam itu bejibun jumlahnya. (Alam semesta memang rumit, bukan?) Misalnya, repetisi ini mengupas godaan semu teknologi.
“Semuanya elektronik! Semuanya elektronik! Semua-muanya elektronik! Manual! Lakukan secara manual! Lakukan secara manual! Lebih baik! Lebih baik! Lebih baik!”
Nejem memamerkan sekstan antiknya pada saya. Benda itu dialasi kain wol kasar warna hijau, berkilau bak sebongkah emas di dalam kotak kayu jati. Ia pernah bolak-balik menakhodai kapal barang ke India, hanya berbekal peranti mekanik menawan ini. Namun, saat naik ke anjungan malam itu, saya melihat sebuah iPhone berpendar di pos pandang kapal. Nejem sedang mengakses aplikasi GPS untuk menolongnya menerjang ombak ke utara. Di dalam sorot cahaya biru pucat itu, saya menangkap sekilas air mukanya: keruh dan menekuk sedih.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR