Awan kumulonimbus menjadi topik perbincangan khalayak dunia lantaran pesawat AirAsia QZ 8501 yang jatuh di perairan Selat Karimata, pada 28 Desember 2014 lalu, diduga telah terbang masuk ke dalam awan tersebut.
Kepala Penelitian dan Pengembangan Litbang Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Profesor Edvin Aldrian mengatakan ketika peristiwa terjadi terdapat awan badai yang mengandung butiran-butiran es atau icing yaitu pada ketinggian mulai 30-an ribu kaki sampai dengan 48 ribu kaki.
“Analisis menunjukkan suhu puncak awan mencapai -80 derajat celsius sampai -85 derajat celsius dan berarti terdapat butiran-butiran es atau icing di dalam awan tersebut,” ujarnya.
Awan vertikalKumulonimbus memang berbeda dengan awan-awan lainnya. Zadrach Ledoufij Dupe, dosen klimatologi Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan kumulonimbus ialah kumpulan awan vertikal di ketinggian satu kilometer dan bisa menjulang hingga mencapai 15.000 meter.
“Di permukaan, suhu di permukaan awan kumulonimbus mungkin hanya 15 derajat celsius. Namun, di bagian puncak, suhunya bisa -60 derajat celsius—yang menghasilkan air superdingin,” kata Zadrach kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Oleh karena itu, lanjut Zadrach, awan kumulonimbus cenderung dihindari pesawat mengingat lapisan es bisa menutupi badan pesawat yang mengganggu aerodinamika dan membutakan alat pengukur kecepatan. Situasi itu terjadi pada pesawat Air France AF 447 yang jatuh di Samudera Atlantik.
“Lalu, jika pesawat masuk awan kumulonimbus, ada pula masalah up draft dan down draft yang bisa membanting pesawat ke atas dan ke bawah,” kata Zadrach.
Masalahnya, seiring dengan pemanasan global bumi, awan kumulonimbus bakal semakin intensif.
“Syarat pertumbuhan awan kumulonimbus ialah harus ada pengangkatan udara lembab dari permukaan, sedangkan hal itu tergantung pada temperatur permukaan. Nah, saat temperatur permukaan naik akibat pemanasan global, jelas pertumbuhan awan semakin intensif dan semakin tebal,” kata Zadrach.
Fenomena itu, lanjutnya, banyak terjadi di daerah khatulistiwa. Meski demikian, bukan berarti awan kumulonimbus tidak bisa tumbuh di daerah utara atau selatan khatulistiwa.
“Awan kumulonimbus bisa timbul di mana-mana. Di khatulistiwa penyebabnya pemanasan permukaan. Sedangkan di daerah lintang menengah disebabkan pertemuan dua massa udara yang berbeda. Kemudian, udara yang panas dan lembab akan naik ke udara yang dingin lalu membentuk awan kumulonimbus. Hanya saja, awannya tidak setebal awan di khatulistiwa,” ujar Zadrach.
Semakin intensif dan tersebarnya awan kumulonimbus menimbulkan tantangan bagi industri penerbangan.
“Saat ini teknologi kita memang belum sanggup mengatasi awan kumulonimbus sehingga pesawat harus menghindar. Namun, kita tidak akan tahu teknologi masa depan seperti apa,” kata Zadrach.
Penulis | : | |
Editor | : | Puri |
KOMENTAR