Di runway, sebuah pesawat Casa berwarna abu-abu milik TNI Angkatan Laut sudah terparkir. Kru pesawat sedang briefing ketika saya tiba dengan terengah-engah. Maklum, saya harus berlari mengejar waktu agar tidak tertinggal. Seorang petugas lantas mencatat nama saya untuk masuk ke manifest penumpang. Setelah itu, saya dipersilakan masuk.
Sejumlah rekan saya rupanya sudah berada di dalam pesawat tersebut. Setidaknya, ada empat jurnalis lain selain saya yang ikut dalam rombongan ini. Selain itu, ada tiga petugas dari Angkasa Pura dan sekitar enam kru pesawat yang turut dalam penerbangan.
"Pesawat enggak ke Halim ya, tetapi ke Pondok Cabe," ujar salah seorang kru pesawat.
Ah sial, dalam hati saya sedikit menggerutu, karena saya harus menambah uang transportasi lagi untuk menjemput sepeda motor yang sudah lama diparkir di Halim. Tapi setidaknya, penerbangan ini membawa saya kembali ke Jakarta, kota yang saya rindukan sejauh apapun saya pergi.
Lampu motor ojek
Pesawat akhirnya meninggalkan Pangkalan Bun menuju Jakarta sekitar pukul 16.30 WIB. Sepanjang penerbangan, saya habiskan waktu saya untuk bertukar cerita mengenai pengalaman meliput di Pangkalan Bun dan suka-duka melakukan peliputan di tengah bencana dengan transportasi kota yang minim.
Waktu menunjukkan pukul 18.00 WIB saat saya tiba di langit Kota Jakarta. Saya pun sempat mengabadikan kerlap kerlip lampu jalanan dan kendaraan dari dalam pesawat yang tengah terbang pada ketinggian 2.000 kaki di atas permukaan laut. Ah, saya sudah rindu dengan kota ini.
Dibutuhkan waktu sekitar 45 menit hingga kami benar-benar mendarat di Pondok Cabe. Empat puluh lima menit? Kok lama ya? Rupanya, pesawat Casa ini sempat berputar beberapa kali di wilayah Pondok Cabe. Bahkan, sempat juga pesawat ini "bergoyang" ke kanan dan ke kiri sebelum akhirnya mendarat sempurna.
Suasana di Lanud Pondok Cabe gelap gulita. Satu-satunya penerangan yang ada hanyalah di hanggar tempat di mana sejumlah pesawat menjalani perawatan. Sementara itu, di runway tempat pesawat yang saya tumpangi mendarat, tak ada satu pun lampu yang terpasang. Ini aneh.
"Tadi ngerasa ada yang aneh nggak? Atau lihat ada yang aneh nggak di sekitar sini?" tanya salah seorang kru yang bertugas memonitor radar kepada saya.
"Iya pak, kok ini gelap banget ya? Lampu landasannya mana kok enggak ada?" tanya saya kepada kru tersebut.
Kru itu kemudian menjelaskan bahwa pesawat ini memang sempat melakukan putaran beberapa kali. Tidak adanya lampu penerangan membuat pilot cukup kesulitan untuk mencari runway. Sebagai patokan, lampu sepeda motor milik tukang ojek dijadikan patokan bahwa kami sudah tepat berada di runway. Itulah sebabnya mengapa kami tadi sempat bergoyang, lantaran sang pilot sedang mencari dimana posisi lampu tukang ojek itu berada.
Miris. Di Jakarta yang notabene merupakan ibu kota negara, rupanya masih ada lapangan udara (lanud) yang tak dilengkapi lampu runway. Padahal, keberadaan lampu itu sangat penting bagi pilot untuk dapat mendaratkan pesawat yang dikemudikannya dengan selamat. Keberhasilan pilot dalam mengemudikan pesawat adalah kunci keselamatan seluruh penumpang. Kalau di Jakarta saja masih ada lanud yang memiliki runway tanpa lampu, bagaimana dengan kondisi lanud lain di daerah?
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR