Sekitar 30 persen hutan dan kawasan konservasi atau seluas 10,5 juta hektare rusak karena beragam faktor, seperti perambahan, pembalakan liar, dan kebakaran hutan. Upaya restorasi terus dilakukan, tetapi belum mampu mengatasi laju kerusakan.
"Setiap tahun rata-rata dilakukan restorasi 100.000 hektare. Namun, masih jauh tertinggal dari luasan yang rusak," kata Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Dahono Adji sebagai pembicara kunci seminar nasional konservasi biodiversitas di subregional Sumatera bagian selatan, yang diadakan Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Proyek Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Iklim Bioclime-GIZ, di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (14/1).
Saat ini, total luas kawasan dan hutan konservasi di seluruh Indonesia sekitar 35 juta hektar. Kerusakan terjadi di antaranya karena perambahan atau penebangan liar.
Di Sumatera Selatan, perambahan untuk tambak udang masih terlihat di kawasan konservasi, seperti Taman Nasional Sembilang. Penebangan liar juga di Hutan Harapan di perbatasan Jambi dan Sumsel.
Menurut Bambang, restorasi dilakukan dengan menanam dan melepasliarkan satwa sesuai dengan habitat dan ekosistem kawasan konservasi. Restorasi juga diiringi sosialisasi melibatkan masyarakat di sekitar hutan.
"Kalau masyarakat terus menebang, restorasi tidak ada gunanya. Di sisi lain, masyarakat juga perlu diberi solusi untuk kesejahteraan mereka," katanya.
Menurut Sekretaris Dinas Kehutanan Sumsel Zulfikar, pihaknya menggunakan pendekatan persuasif menangani perambahan. Salah satunya mencari akar masalah dan solusinya.
Konservasi satwa
Seiring dengan menguatnya desakan manusia ke kawasan konservasi, konflik manusia dengan satwa liar meningkat. Hal tersebut diperparah dengan maraknya perdagangan organ ataupun satwa dilindungi, seperti gading gajah, harimau, tenggiling, dan cenderawasih.
Sepanjang tahun 2014, gajah merupakan satwa liar terbanyak yang ditemukan mati terbunuh di Sumatera. Sebagian besar di perkebunan sawit di Riau.
Selain Riau, jumlah gajah mati terbunuh banyak ditemukan di Aceh, Sumatera Utara, dan Lampung.
Di Sumsel, kata Zulfikar, penataan ruang untuk satwa liar telah dilakukan. Namun, satwa-satwa itu juga bergerak ke luar area konservasi hingga memasuki kawasan hutan produksi dan perkebunan.
"Ini tantangan bagaimana kita bisa menata habitat. Ini perlu sinergi antara pengelola kawasan konservasi, pengelola kawasan hutan produksi, dan masyarakat sekitar,†katanya. Sejumlah satwa liar prioritas perlindungan di Sumsel, di antaranya harimau sumatera dan gajah. Namun, hingga kini belum diketahui jumlah populasi di alam liar di Sumsel.
Melalui Proyek Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Iklim Bioclime-GIZ, saat ini dilakukan pemetaan untuk memperoleh data tutupan hutan. Data itu dapat dimanfaatkan untuk menata wilayah satwa liar.!break!
Titik panas baru di Jambi
Di Provinsi Jambi, sejumlah titik panas baru terdeteksi dua hari terakhir. Sebagian besar titik panas berada di kawasan hutan negara. Berdasarkan data satelit cuaca Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat (NOAA) 18, yang diolah Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, ditemukan enam titik panas baru. Titik-titik itu tersebar di tiga kabupaten, yakni Sarolangun (3 titik), Bungo (2), dan Tebo (1).
Sebagian besar titik panas berada dalam kawasan hutan produksi, kecuali 1 titik dalam kawasan hutan lindung di wilayah Sarolangun. Demikian dikatakan Donny Osmond, pengolah data titik api Dinas Kehutanan Jambi.
Kepala Bidang Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Ahmad Bestari mengatakan, tanpa ada hujan di wilayah-wilayah dengan titik panas, bisa muncul titik panas baru.
Oleh karena itu, pihaknya meminta petugas pemantau kebakaran lahan di kabupaten segera mengecek ke lokasi. Petugas diminta memastikan apakah titik panas yang terdeteksi lewat satelit itu kebakaran atau hanya suhu meningkat.
Manajer Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Rudi Syaf mengatakan, pola pembukaan lahan banyak berubah dan menimbulkan tingginya sebaran titik panas di sejumlah daerah di Jambi dan Sumsel.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR